Ini adalah kali pertama aku mengandung. Umur kandungan ku baru 8 bulan. Tapi saat ini aku dan suami ku merasakan sesuatu yang membahagiakan hidup. Setiap hari sehabis shalat Magrib, suami ku selalu mengelus-elus perut ku dan mendo'akan pada si calon bayi, "semoga engkau lahir dengan selamat, dan membanggakan orang tuamu", begitulah suami ku berdo'a.
Aku merasakan rasa sayang darinya begitu dahsyat dan aku yakin dia begitu sayang padaku dan pada bayi yang ad dalam kandunganku. Suami ku berharap semoga bayi kami laki-laki. Tapi aku pasrah pada Tuhan karena meskipun laki-laki atau perempuan, bagi ku anak kami adalah titipan dari Tuhan yang harus dijaga.
Suatu malam kami tertidur pulas dan aku bermimpi buruk. Aku bermimpi bahwa aku tidak akan bertemu lagi dengan suami ku pada suatu hari nanti. Perasaan ku pun jadi tidak enak dan mataku pun susah untuk ku pejamkan kembali.
Tangan ku mengelus-elus pada perut ku, dan mataku memandang pada wajah suami ku yang tertidur pulas, meski pun agak sedikit mendengkur. Tak terasa air mata ku terjatuh dan membasahi bantal yang sedang aku tindih dengan kepala ku.
Tenggorokan ku kering, aku merasa haus. Aku ingin membangunkan suami ku yang tengah tertidur untuk mengambilkan ku air minum ke dapur. Tapi aku tak tega, aku tak sampai hati mengganggu tidur lelapnya. Karena aku tahu, dia begitu lelah karena seharian berjualan ikan.
Saat aku beranjakuntuk mengambil air minum ke dapur. Langkah ku terhenti dan tiba-tiba telinga ku mengiang seolah-olah ada yang memanggil ku dari kejauhan. "Ratna...Ratna...Ayo pulang!!!" seperti itulah aku mendengarnya. Tapi aku tak begitu mempedulikan dan mungkin itu hanya perasaan ku saja.
Setelah aku menghabiskan satu gelas air minum, aku pun segera kembali ke tempat tidur. Dan ketika aku telah merebahkn tubuh ku, suara itu kembali mengiang di telinga ku dan lama kelamaan suara itu mendekat dan begitu dekat. Aku merasa suara itu adalah suara Ibu yang memanggil ku di depan rumah kami.
Dengan berat hati aku membangunkan suami ku yang tengah tertidur pulas. "A...aa....aa...bangun!!! coba tengok, di luar ada siapa?" imbau ku. Lalu suami ku pun terbangun dan dia pun mendengar suara lantang dan keras tersebut. Tanpa mencuci muka terlebih dahulu, suami ku bergegas menuju pintu depan rumah kami. Aku mengikuti suami ku yang hanya mengenakan kaos putih polos dan kain sarung yang belum dia buka selepas shalat Isya. Aku berjalan beriringan di belakang suami ku.
Malam itu pukul 02.30 dini hari dan suara itu semakin mengganggu telinga kami. Ketika suami ku membukakan pintu, serentak kami terkejut, "Astagfirullahaladziem, Ibu ada apa?" tanya suami ku sambil mengulurkan tangannya dan agak sedikit membungkuk dengan maksud ingin menjabat tangan Ibu.
Dengan tak menghiraukan tangan suami ku yang telah terulur dan tanpa mengucap salam, Ibu ku bertanya pada suami ku dengan marahnya,"Dimana Ratna?" ucapnya. "Ada apa Bu dengan Ratna?" tanya suami ku dengan tenang. Dengan egoisnya Ibu tak menjawab pertanyaan dari suami ku. Ibu ku sangat galak pada saat itu,"Ratna tidak usah tinggal di sini lagi! biar Ratna tinggal bersama Ibu saja" . Setelah selesai membentak suami ku, Ibu menolehkan mukanya ke arah ku. Tiba-tiba Ibu merampas tangan ku dan menariknya dengan paksa. Lalu suami ku mencoba melepaskan tangan Ibu yang telah memegang erat pergelangan tangan ku. Dan suami ku pun kembali menyahut," Tapi Bu, Ratna istri saya, saya berhak untuk mengajak Ratna tinggal di sini" tegas suami ku. "Sudah! jangan banyak bicara....!!! jika Ratna tinggal di sini, maka seumur hidup, Ratna tidak akan bahagia!".
Lalu ketika mereka membuat gaduh isi rumah, tiba-tiba ada yang melerai diantara mereka, ternyata beliau adalah Ayahku, yang memang beliau datang bersama Ibu. "Sudahlah bu, biarkn Ratna tinggal di sini dengan suaminya!" ucap Ayah ku dengan tenang. "Sudah,,sudah,,,Bapak tidak usah ikut campur!!! Ratna ayo pulang" ucap Ibu sambil mengambil kembali tangan ku dari penguasaan suami ku. Aku bingung harus bagaimana, Ibu ku yang keras kepala menarik tangan ku dan memaksa aku untuk mengikuti perintahnya.
Suami ku pun sedih, ku lihat itu dari matanya. Diantara kesedihan dia memohon pada ibu," Ibu, jangan bawa Ratna pergi, biarkan Ratna di sini". Tapi tampaknya, Ibu ku berpura-pura tidak mendengar dan mengabaikan ucapan suami ku.
Aku menangis dan hanya bisa menangis. Aku bingung apa maksud Ibu membawa ku pulang. Ku pasrah dan aku pun tak mau melawan Ibu.
Selagi Ibu menarik tangan ku dan membawa ku pergi dari rumah suami ku, lalu Ayah ku mendekati suami ku. Dan sepertinya ada sesuatu yang mereka bicarakan. Aku berusaha untuk bisa mendengar percakapan mereka tapi tak bisa. Karena Ibu selalu saja menasehati ku dengan marahnya.
Tak lama kemudian , Ibu memanggil Ayah, "Bapak...ayo pulang!" betapa keras suara Ibu seperti berteriak di telinga ku. Ayah tak bicara apa-apa, beliau hanya berlari kecil dan menuju ke arah kami.
Rumah Ibu memang tak begitu jauh dari rumah suami ku, mungkin hanya kurang lebih 200 meter. Dalam perjalanan pulang, Ibu masih memegang erat tangan ku. Aku pun masih dalam keadaan menangis tersendu, dan sesekali aku bertanya pada Ibu, " Bu,,,,,mengapa Ibu tega sama Ratna?" tanya ku. Tapi Ibu hanya menjawab, "Sudah ! kamu turuti saja perkataan Ibu".
Saat itu aku tak henti menangis dan seolah air mata tak bisa berhenti membuat sungai kecil di pipiku. Aku mencoba melepaskan tangan ku dari genggaman Ibu, tapi erat sekali, dan tangan ku seperti dibelenggu. Dengan sekuat tenaga aku mencoba melepaskan diri dari penguasaan Ibu dan akhirnya terlepas juga. Aku berlari dan kembali ke rumah suami ku tanpa mempedulikan kandungan di perut ku. Ibu berusaha mengejar ku tapi Ayah menahan dan menghalangi Ibu.
Karena aku tak begitu memperhatikan arah lari ku, aku pun tersungkur ke tanah kotor yang tersirami air hujan kemarin sore. Aku berusaha bangun sekuat tenaga ku, lalu aku berlari kembali. Tapi tiba-tiba Ibu menarik kembali tangan ku. "Cepat sekali lari Ibu" tanya ku dalam hati. Ibu kembali memegang tangan ku yang kotor oleh lumpur. "Sudah! jangan coba-coba kembali lagi ke rumah suamimu", Ibu melarang ku dengan nada menggertak. Aku terdiam dengan gertakan Ibu tapi air mata belum mau berhenti. Sesekali aku merengek "Ibu,,,,ibu,,,lepaskan Ratna bu....!!!".
Sesampainya di rumah Ibu , tanpa banyak bicara Ibu langsung membawa ku ke kamar yang dulu pernah aku isi sewaktu aku belum menikah. Aku dan tangisan ku di kunci dari luar pintu kamar. Aku kembali merengek sambil memukul pintu kayu dengan kepalan tangan ku, "Ibu,,,ibu,,,ibu,,, buka pintunya ibu", tapi tak ada suara yang menyahut.
Aku lemah, aku duduk sambil bersandar pada pintu dan memprotes Tuhan, "Ya Tuhan, mengapa ini semua terjadi padaku?" tanya ku dlam hati sambil menadahkan kepala ku ke arah langit-langit rumah.
Keesokan harinya setelah aku selesai shalat Dzuhur dari dalam kamar aku mendengar seperti ada seseorang yang mengucap salam di depan rumah. Aku menduga bahwa itu adalah suami ku yang sengaja datang sehabis pulang berjualan ikan di pasar. Aku lekas keluar dari kamar dan menghampiri suara salam tersebut. Setibanya aku di pintu depan, aku pun mempercepat tangan ku membuka pintu sambil menjawab salam. Ternyata dugaan ku benar, tamu yang datang adalah suami ku. Dengan mengenakan peci hitam dan dan kemeja yng dia pakai aku segera mencium tangannya. Setelah itu, suami ku bertanya,"Bagaimana kabarmu Ratna?" tanya suami ku. "Alhamdulillah, Ratna baik-baik saja A" jawabku. Dan suami ku kembali bertanya,"Dimana Ibu?" dan sebelum aku menjawab pertanyaan kedua dari suami kutiba-tiba Ibu datang dari arah dapur dan membentak suami ku, "Untuk apa kamu datang ke sini?" kami berdua kaget dengan adanya Ibu yang secara tiba-tiba muncul diantara kami. Suami ku mencoba menyalami tangan Ibu sambil berucap salam, tapi Ibu mengabaikan tangan dan salam suami ku. Aku tak mengerti, mengapa Ibu sampai seperti itu.
Kegaduhan semalam seolah terjadi lagi pada siang ini. "Sudah, jangan pernah kembali lagi menemui Ratna!" ucap Ibu. "Tapi bu, apa masalahnya?" tanya suami ku pada Ibu. "Jangan tanya apa masalahnya! tapi coba pikir! apa yang telah kamu lakukan pada Ratna selama ini?" jawab Ibu. Suami ku sejenak terdiam dan kembali bertanya pada Ibu,"Masalah apa Bu?"
Aku mencoba meredakan keributan mereka dan menyuruh suami ku untuk duduk. Tapi Ibu kembali memarahi suami ku,"Jangan pernah rayu Ratna lagi untuk tinggal di rumahmu! Mulai sekarang Ratna tinggal di sini! Sudah! Pergi!" Ibu mengusir suami ku sambil mendorong tubuhnya keluar rumah. Lalu Ibu menutup rapat pintu rumah dan kembali menguncinya.
Aku masih penasaran, mengapa Ibu begitu membenci suami ku. Dan aku masih belum tahu apa yang ada dlam pikiran Ibu, sehingga Ibu mengusir suami ku dan memisahkan kami.
Lalu Ibu kembali mengunci ku di kamar. Aku tidak bisa menahan air mata ku. Padahal aku tak mau larut dalam kesedihan, karena aku sayang pada suami ku dan juga kandungan ku.
Aku mencoba memahami dari yang Ibu ucapkan pada kegaduhan tadi. Ibu begitu benci pada suami ku dan aku pun belum tahu apa sebabnya.
Meskipun rumah suami ku tak semewah rumah Ibu, tapi aku sudah cukup bahagia tinggal bersama suami ku meski pun dia hanya seorang penjual ikan di pasar. Tapi segala kebutuhan kami tercukupi. Aku merasa bersalah dan malu padanya karena sifat Ibu yang begitu membenci suami ku. Keegoisannya membuat kami terpisah dan sifatnya seolah menjadi beban di pikiran ku. Tapi aku memasrahkan segalanya pada Tuhan, dengan bersabar dan mengingat-Nya.
Rasa ingin tahu ku begitu besar. Aku ingin menanyakan segalanya pada Ibu. Aku menghampirinya setelah selesai shalat Ashar. Saat itu Ibu sedang berada di dapur, Ibu tengah sibuk memasak. Aku mulai menanyakannya pada Ibu."Bu! mengapa Ibu begitu membenci suami Ratna Bu?". Ibu hanya terdiam dan sepertinya Ibu hanya pura-pura tidak apa yang telah aku pertanyakan. Aku mengulang lagi pertanyaan itu pada Ibu dan agak sedikit mengeraskan suara ku,"Bu, mengapa Ibu begitu membenci suami Ratna Bu?", Ibu pun masih tak menjawab pertanyaan ku. Ibu hanya menoleh ke arah ku dengan matanya yang melotot. Dan aku pun kembali mempertanyaankannya," Bu...! jawab! mengapa Ibu begitu membenci suami Ratna Bu? jawab!" tanya ku sambil memegangi tangan tangannya. Ibu benar-benar tidak menghiraukan ucapan ku. Beliau pun tampaknya marah pada ku.
Sejenak aku berfikir, aku memutuskan untuk pergi manjauhi Ibu saat itu. Aku berjalan menuju luar rumah. Aku menghampiri Ayah yang sedang beristirahat di teras rumah sambil menikmati kopi hitam hangat dan rokok kreteknya. Aku menemani Ayah dengan duduk pada kursi bambu di sebelahnya.
Tanpa basa-basi, aku langsung bertanya pada Ayah, "Pak! mengapa Ibu membenci suami Ratna pak?" tanya ku pada Ayah. "Ibumu terpengaruhi dan terkena hasutan dari orang-orang" jawab Ayah. "Maksud Ayah?" tanya ku kembali. "Ibumu terkena hasutan dari orang-orang, karena mereka sering sekali melihat suamimu mengantarkan pulang seorang wanita berkerudung setelah selesai berjualan". jawab Ayah ku. "Dan yang membuat Ibumu percaya adalah saat Ibumu membuktikan langsung apa yang orang-orang bilang. Ternyata Ibumu pun melihat langsung perselingkuhan suamimu" ucap Ayah ku. Aku pun kembali menanyai Ayah,"Terus Bapak sendiri percaya?" tanya ku. Lalu beliau menjawab,"Bapak sebenarnya lebih percaya pada suamimu, karena semalam Bapak menanyakannya langsung padanya".
Aku tidak percaya kalau suami ku berbuat seperti itu. Aku percaya kalau suami ku adalah pemimpin rumah tangga yang begitu sayang pada ku. Lalu aku kembali menanyai Ayah ku." Terus apa yang suami Ratna bilang pada Ayah?" dan Ayah pun menjawab, "Wanita itu dalah sepupu suamimu dari Pandeglang yang juga berjualan dari pasar".
Dari percakapan dengan Ayah ku, aku jadi sedikit lebih tahu dan menghilangkan rasa penasaran ku. Aku bermaksud untuk memberitahukan masalah ini pada Ibu, tapi karena sikapnya begitu marah padaku maka aku pun jadi menundanya dan menunggu waktu yang tepat.
Malam harinya sekitar jam 8, kami sedang berkumpul dan kedapatan tamu. Kali ini Ayah yang membukakan pintu, dan ternyata tamu adalah suami ku. Tapi malam itu suami ku datang dengan seorang wanita berkerudung hijau muda. Mungkin inilah wanita yang tadi siang Ayah ceritakan. Wanita itu cantik sekali. Suami ku menjabat tangan Ayah dan wanita itu pun juga menyalami tangan Ayah. Lalu Ayah pun mempersilahkan mereka duduk.
Aku berdiri dan segera bergegas menuju dapur un tuk segera mengambilkan mereka air minum tapi Ibu melarang ku,"Mau kemana kamu Ratna? sudah di sini saja! tak perlu kau ambilkan mereka air minum!" ucap Ibu ku. "Bu,,,sudah, tak enak ada tamu!" sahut Ayah ku.
Watak Ibu yang keras dan tak mau mengalah membuat ku jadi takut dan hanya memilih untuk diam.
Lalu suami ku memulai pembicaraannya," Pak, bu, Ratna, sebelumnya,,,saya mohon maaf! saya datang ingin menjelaskan masalah saya dengan Annisa" ucap suami ku. Lalu Ibu memotong pembicaraannya,"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, semuanya sudah jelas" gertak Ibu. Dan suami ku kembali menyahut,""Bu, izinkan saya untuk menjelaskannya, jika Ibu tetap tak mau mendengarkannya maka semua masalahnya tak akan selesai" dan Ayah pun menambahkan pernyataan suami ku."Bu, biarkan suami Ratna bicara, ini demi kebaikan rumah tangga mereka" seru Ayah.
Saat itu aku tak tahu harus berpihak pada siapa. Aku bingung, aku memilih diam dan mendengarkan perdebatan mereka sambil mengelus-elus kandungan ku.
Kemudian dari perdebatan mereka , tiba-tiba Annisa bicara pada Ibu,"Bu, saya minta maaf karena mengganggu waktu istirahat Ibu. Dan asal Ibu tahu, saya ini adalah sepupu dari Irwan. Saya baru 2 bulan tinggal di Tangerang. Saya dari Pandeglang. Saya memang kerap sekali diantarkan pulang oleh Irwan karena saya tinggal di rumah orang tua Irwan. Dan saya juga berjualan ikan milik Irwan di pasar. Jadi, saya harap Ibu jangan terlalu curiga pada Irwan, karena saya yakin bahwa Irwan adalah menantu yang baik dan saya percaya itu". ucap Annisa pada Ibu. Tapi Ibu tetap saja pada pendiriannya dan mencerca Annisa,"Kamu, masih kecil sudah berani mengajari yang tua! sudah! kalian berdua sama saja", tuduh Ibu pada Annisa.
Sifat dan watak Ibu berbeda jauh dengan Ayah. Ibu adalah sosok yang superego, Ibu pun selalu mempermasalahkan hal kecil sehingga aku dan rumah tangga ku menjadi kacau balau gara-gara Ibu. Aku tak begitu menyalahkan Ibu. Karena aku tahu, Ibu menginginkan yang terbaik untuk ku. Tapi mengapa sikap Ibu begitu parah pada suami ku dengan selalu menuduh dan mencurigai suami ku yang bukan-bukan.
Ibu lebih percaya pada omongan orang lain daripada mempercayai anaknya sendiri. Bahkan Ibu pun termasuk orang yang membangkang pada nasihat Ayah.
Jujur! Aku ingin Ibu mati pada saat itu. Tapi, apakah aku salah jika aku berdo'a seperti itu? Dan, apakah aku termasuk anak durhaka dengan menyumpahi Ibu? Astagfirullahaladziem....
Hasil akhir dari perdebatan mereka yaitu aku sudah tak diperkenankan lagi bertemu dengan suami ku. Ibu menghancurkan rumah tangga dan kebahagiaan kami.
Aku yang tengah menunggu kelahiran anak pertama ku, harus bisa menerima perpisahan dengan Irwan. Aku serasa ingin mati. Aku dan Irwan menjadi korban pertama dari keegoisan Ibu.
Selang beberapa minggu ketika anak ku lahir, aku pun merasa bersyukur. Karena proses kelahirannya berjalan lancar dan normal. Tapi sayang, tidak ada Irwan yang menemani kala itu. Ayah ku mengadzani dan beriqamah pada telinga kanan dan telinga kiri anakku.
Hidungnya mancung percis hidung Ayahku. Dan dagunya pun seperti dagu suami ku. Tangisan anak ku yang membuat ku selalu bertahan hidup. Aku bahagia.
Aku berharap, anak ku kelak tak mengalami nasib yang sama seperti ku bila nanti berkeluarga. Anak ku laki-laki, dan Ayah memberinya nama Nawawi Al-Ghazali. Nama yang gagah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar