Kamis, 28 April 2016

LEICESTER CITY MENCARI HABITAT BARU

Liga Champions, sesuai dengan namanya, adalah arena para juara. Meskipun nantinya Leicester City jadi juara Liga Inggris, apakah Liga Champions juga habitat yang cocok untuk mereka?

Setahun yang lalu, tampaknya tak seorang pun di muka bumi yang berpikir akan ada wakil baru Inggris di Liga Champions. Saat bicara Liga Champions, yang terpikirkan adalah nama Manchester United, Manchester City, Chelsea, dan Arsenal. Tim lain yang diperkirakan bisa menembus empat besar paling cuma Liverpool dan Tottenham Hotspur, yang memang sudah punya pengalaman di Liga Champions.

Kenapa Leicester? Kenapa bukan Stoke City saja, yang terlihat lebih menjanjikan karena memborong pemain-pemain tenar di awal musim? Atau Southampton, yang tampil mengesankan di bawah arahan Ronald Koeman?

Tapi, faktanya wakil baru Inggris di Liga Champions itu adalah Leicester. Iya, Leicester yang setahun lalu masih pusing menyelamatkan diri dari jeratan degradasi. Leicester yang musim lalu lama menjadi juru kunci Premier League. Leicester yang sebelumnya punya habitat di papan bawah bersama tim-tim medioker lainnya macam Norwich City, Sunderland, dan Bournemouth.

Kehadiran Claudio Ranieri rupanya mengubah segalanya. Meski banyak diremehkan ketika ditunjuk sebagai pengganti Nigel Pearson, pria Italia itu tiba-tiba menjadi seperti tukang sihir yang mengobrak-abrik peta kekuatan tim-tim di Premier League.

Ranieri sebenarnya diberi tugas yang sederhana oleh bos Leicester, Vichai Srivaddhanaprabha. Dia hanya harus memastikan timnya tidak kehilangan status sebagai penghuni Premier League. Artinya, asalkan Leicester tidak terdegradasi, posisi Ranieri di kursi manajer masih relatif aman.

"Saya ingat pertemuan pertama dengan chairman ketika saya tiba di Leicester City. Dia duduk bersama saya dan berkata, 'Claudio, ini adalah musim yang amat penting untuk klub. Sangat penting bagi kita untuk bertahan di Premier League. Kita harus tetap aman'. Jawaban saya adalah 'Oke, tentu saja. Kita akan bekerja keras di tempat latihan dan berusaha untuk mencapainya'," kata Ranieri beberapa waktu lalu.

Dalam penafsiran Ranieri, bertahan di Premier League berarti meraih minimal 40 poin dalam semusim. Dengan jumlah poin tersebut, Leicester harusnya aman dari degradasi.

Akan tetapi, Ranieri dan Leicester rupanya "kebablasan". Setelah target 40 poin tercapai, mereka tak berhenti mengumpulkan angka. Mereka kini telah memastikan satu tempat di fase grup Liga Champions musim depan.

Di arena Liga Champions musim depan, Leicester memang tim pendatang baru. Namun, The Foxes sebenarnya punya pengalaman tampil di kompetisi antarklub Eropa meski tak banyak. Leicester ambil bagian di Piala Winners 1961/1962, Piala UEFA 1997/1998, dan Piala UEFA 2000/2001. Tak ada yang bisa dibanggakan dari keikutsertaan Leicester dalam tiga kesempatan tersebut karena mereka tak bisa melewati babak pertama.

Liga Champions adalah sesuatu yang berbeda. Yang tampil di dalamnya adalah tim-tim terbaik dari seluruh penjuru Benua Biru. Apakah Leicester pantas berada di sana? Tentu saja pantas karena mereka telah bekerja sangat keras demi mencapai posisi mereka sekarang. Namun, apakah Leicester akan menjadikan Liga Champions sebagai habitat baru mereka atau mereka ternyata sekadar numpang lewat, itu persoalan lain.

Pada 25 Agustus 2016 mendatang, Leicester akan mengetahui tim-tim mana yang akan menjadi lawan mereka di fase grup Liga Champions. Pada tanggal tersebut, undian fase grup akan dilakukan di Monako. Sebagaimana di babak-babak lainnya, hasil undian di fase grup juga akan sangat memengaruhi pencapaian sebuah tim. Kalau hasil undian menguntungkan, Leicester bisa saja bermimpi untuk melaju ke babak knockout. Namun, kalau sedang apes, mereka mungkin saja terjebak di grup neraka.

Bicara soal undian fase grup tentu tak bisa dilepaskan dari pertanyaan "masuk pot mana?". Pertanyaan tersebut akan terjawab dalam beberapa pekan ke depan. Jika Leicester jadi juara Premier League, mereka akan masuk Pot 1. Pot 1 berisi tim-tim juara dari tujuh liga teratas Eropa plus tim juara Liga Champions musim ini.

Jika Leicester tidak juara dan finis di posisi kedua atau ketiga, maka nasib mereka akan ditentukan oleh ranking koefisien UEFA klub-klub peserta fase grup musim depan. Koefisien ini akan bergantung pada pencapaian masing-masing klub di kompetisi Eropa dalam lima musim terakhir. Karena Leicester absen di kompetisi Eropa dalam lima musim terakhir, mereka hampir pasti masuk Pot 4.

Masuk Pot 1 tak jadi jaminan Leicester masuk grup ringan. Sebaliknya, masuk Pot 4 juga tidak berarti akhir dunia bagi mereka.

Jika mengacu pada pembagian pot musim ini, dengan masuk Pot 1 Leicester bisa saja satu grup dengan tim-tim seperti Porto, Olympiakos, dan Maccabi Tel Aviv. Namun, mereka bisa juga langsung bertemu Real Madrid, AS Roma, dan Wolfsburg.

Sementara jika masuk Pot 4, Leicester mungkin saja masuk grup berat yang berisi Bayern Munich, Real Madrid, dan Roma. Tapi, tidak menutup kemungkinan mereka mendapat grup yang lebih ringan dengan bertemu Zenit Saint Petersburg, Porto, dan Olympiakos.

Skenario-skenario itu juga akan berlaku pada musim depan. Semuanya akan bergantung pada seberapa beruntung Leicester dalam drawing.

 Leicester sebenarnya tak perlu berkecil hati dengan status mereka sebagai tim debutan di Liga Champions. Ada beberapa tim debutan yang sukses membuat kejutan kok. Musim ini, Gent dan Wolfsburg berhasil menembus babak knockout. Sementara APOEL di luar dugaan lolos ke perempatfinal pada 2011/2012. Tapi, belum ada yang mengalahkan sensasi Villarreal-nya Manuel Pellegrini, yang maju sampai semifinal pada 2005/2006.

Lagipula, Leicester punya seorang manajer yang punya pengalaman di level Eropa dalam diri Ranieri. Ranieri pernah mengantarkan Chelsea ke semifinal Liga Champions pada 2003/2004. Saat bekerja di Valencia, Ranieri juga meraih trofi Piala Intertoto dan Piala Super Eropa. Jadi, fans Leicester harusnya tak perlu terlalu khawatir tentang nasib tim kesayangan mereka di kompetisi paling elite di Eropa pada musim depan.

Yang patut dinantikan adalah bagaimana kinerja Leicester di bursa transfer musim panas ini. Dengan lolos ke Liga Champions, mereka butuh kedalaman skuat yang jauh lebih baik, sesuatu yang belum dimiliki oleh Leicester pada musim ini. Mereka harus merekrut pemain-pemain baru untuk memperkuat tim. Dengan jadwal pertandingan yang makin padat dan kemungkinan laga tandang ke berbagai penjuru Eropa, Ranieri akan lebih sering melakukan rotasi.

Selain itu, penting bagi Leicester untuk mempertahankan pemain-pemain pilar mereka. Jamie Vardy, Riyad Mahrez, N'Golo Kante, Danny Drinkwater, bahkan Wes Morgan dan Christian Fuchs harus diamankan dari godaan tim-tim besar. Hal ini bukanlah pekerjaan mudah untuk klub seperti Leicester.

 Mulai musim depan, suporter Leicester akan merasakan atmosfer yang berbeda di King Power Stadium. Mereka untuk pertama kalinya akan mendengarkan anthem Liga Champions diputar di stadion kebanggaan mereka. Dan untuk pertama kalinya juga, bintang-bintang top dunia semacam Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi mungkin saja menginjakkan kakinya di sana.

"Anda membayangkan datang untuk melihat Barcelona. Fans kami untuk pertama kalinya akan menonton pemain-pemain Barcelona. Messi, Neymar. Luar biasa," kata Ranieri soal ini.

Jika bisa berbicara banyak di Liga Champions musim depan dan secara konsisten lolos ke kompetisi tersebut tiap musimnya, Leicester mungkin sudah menemukan habitat baru mereka, yaitu di kompetisi elite Eropa. Akan tetapi, jika prestasi mereka musim ini ternyata hanya sebuah sensasi semusim, Leicester tampaknya harus membuatkan patung untuk Ranieri agar pencapaian langka ini bisa dikenang sepanjang masa.

Leicester akan ambil bagian dalam International Champions Cup pada musim panas ini. Meski bukan kompetisi resmi, ajang ini sedikit banyak penting untuk mengukur kesiapan mereka sebelum terjun ke Liga Champions. Ajang ini bisa menjadi semacam pre-test sebelum mereka tampil di arena yang sesungguhnya.

Tiga lawan sudah menunggu di ajang tersebut. Celtic di Glasgow, Paris Saint-Germain di Los Angeles, dan yang terakhir Barcelona di Stockholm. Menarik, bukan?