Minggu, 13 Februari 2011

KETIDAKMAMPUAN

Tidak ada orang yang bisa aku salahkan dari rasa ketidakmampuan ku yang aku rasa saat ini. Aku adalah anak laki-laki yang lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah Ibu ku telah bercerai sejak aku belia.

Hidup ku hanya bergantung pada seorang nenek 87 tahun, karena kedua orang tua ku masing-masing telah berkeluarga. Aku tidak ikut dengan keluarga mereka. Tapi aku memilih untuk tinggal dengan nenek.

Aku berharap hidupku bisa lebih baik tapi ironisnya hidup ku menjadi serba salah. Segala tekanan, kemarahan , keegoisan seakan sudah menjadi pil pahit yang aku harus telan sehari-hari. Aku menjadi korban terakhir setelah Ibu dan Paman-paman ku.

Pernah ketika pertengahan tahun 2003, saat itu aku baru lulus sekolah dari Madrasah Tsanawiyah. Aku berniat untuk dapat melanjutkan sekolah, tapi nenek melarang ku. Dan aku ingin melanjutkannya ke SMAN 1 Mauk, sebuah sekolah yang saat itu menjadi sekolah favorit diantara anak-anak seumuran ku.

Nenek tidak mau membiayai bila aku sekolah. Aku sadar, bahwa keadaan ekonomi yang membuat nenek melarang ku. Tapi, apakah aku salah bila aku melanjutkan sekolah?

Bagiku pendidikan itu sangatlah penting, aku pun ingin memiliki ijazah SMA. Nenek tetap saja tak memperbolehkan ku untuk melanjutkan sekolah. Aku iri melihat teman-teman ku yang dapat melanjutkan sekolah. Lalu aku pun memaksakan diri untuk bisa bersekolah meski pun nanti aku dimarahi oleh nenek.

Aku meminta ijin pada Ibu ku, tapi Ibu pun tak menyutujui jika aku mengecap pendidikan di SMA. Bahkan beliau menyuruh ku untuk masuk pesantren di Pandeglang, Banten. Mungkin kemauan Ibu adalah yang terbaik untuk ku, tapi aku pasti merasa lebih baik bila aku bersekolah.

Karena nenek dan Ibu tidak menyetujui aku untuk bersekolah. Aku mendatangi ayah ku dan memintanya untuk membiayai sekolah ku nanti, namun beliau juga tak mengabulkan kemauan ku. Bukan karena beliau tak mengijinkan ku untuk bisa sekolah, tapi karena faktor ekonomi yang membuat beliau tak mau membiayai ku. Dan bahkan beliau pun meminta ku agar menuruti kemauan Ibu untuk pesantren di Pandeglang, Banten.

Aku mampu untuk memiliki keinginan tapi keadaan ekonomi yang memupuskan niat terbesar ku.

Tekad ku untuk dapat sekolah sudah kuat. Aku bersama 5 orang teman ku mendaftarkan diri sebagai calon siswa di SMAN 1 Mauk tanpa sepengetahuan dan ijin dari Nenek dan orang tua ku. Aku menelesaikan tahap demi tahap penyeleksian yang di langsungkan di SMAN 1 Mauk.

Puas hati ku ketika aku melihat hasil seleksi di mading sekolah dua hari setelahnya. Nama ku terdaftar sebagai siswa yang diterima di SMAN 1 Mauk. Nilai yang aku dapat melebihi nilai standar kelulusan.

Bahagia yang aku rasa hanya sejenak aku alami, karena nenek dan orang tua ku belum tentu bahagia dengan hasil kelulusan ku. Aku menyerahkan berkas-berkas hasil kelulusan ku pada Ibu, dan beliau membaca pun isinya. Reaksi pertama dari beliau adalah menatap ke wajah ku dengan mata yang melotot. Ibu memarahi ku, atas semua yang telah aku lakukan. Dalam berkas kelulusan itu tertuliskan biaya pendaftaran untuk siswa yang di terima sebesar Rp. 1.250.000,-. Mungkin karena hal inilah yang membuat Ibu memarahi ku, pupus sudah harapan ku untuk dapat sekolah di SMAN 1 Mauk, karena Ibu menyobek berkas kelulusan yang aku bawa.

Aku tangisan ku mengiringi kertas-kertas yang berhamburan. Inilah nasib ku, menjadi seorang anak yang hidup diantara ketidakmampuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar