Kamis, 29 Maret 2012

KEBIJAKAN INDONESIA GAGAL MEMBANGUN PAPUA

Berbagai kebijakan pemerintah untuk Papua, selalu ditolak atau tidak diterima masyarakat Papua. Masyarakat tidak merasa dan menganggap kebijakan pemerintah sebagai bagian dari pembangunan dan perkembangan daerah serta membangun Sumber Daya Manusia. Hal seperti ini patut ditanyakan, mengapa masyarakat harus melakukan tindakan perlawanan terhadap berbagai macam kebijakan yang dicanangkan pemerintah untuk Papua.

Ada tiga aspek yang menjadi dasar kegagalan; Pertama, kebijakan yang dicanangkan pemerintah selalu tidak melibatkan masyarakat. Sangat diberi jempol kepada pemerintah atas berbagai kebijakan yang di buat, namun sayangnya kebijakan itu dibuat di luar kemauan rakyat kecil. Otonomi Khusus dan UP4B misalnya, pemerintah menganggap akan membangun kesejahteraan rakyat, namun sampai saat ini sangat tidak memihak rakyat. Karena rakyat Papua merasa bahwa kebijakan ini bukan berangkat dari kemauan atau kerinduan rakyat, tetapi kebijakan itu datang secara ajaib dari para elit pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah Indonesia terkesan dibuat sesuai kemauan pemerintah, bukan kemauan rakyat.

Sebenarnya masyarakat harus dilibatkan, karena kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia ini dicanangkan untuk masyarakat, bukan untuk kalangan elit pemerintahan. Dalam hal ini pemerintah lemah dan gagal. Pemerintah mestinya meminta pendapat rakyat dan duduk bersama membicarakan “apa yang masyarakat mau? Bukan apa yang elit pemerintahan mau?” jika yang selama ini terjadi bahwa hanya pemerintah saja yang menentukan berbagai program yang diterapkan dalam masyarakat, terkesan bahwa pemerintah membuat program hanya untuk dirinya sendiri. Maka jelaslah bahwa progam itu hanya demi perutnya sendiri.

Kalau pemerintah tidak melibatkan masyarakat dalam menyusun sebuah kebijakan merupakan hal yang sangat lucu. Untuk hal ini Ketua Kaukus Parlemen Pegunungan Tengah, Kenius Kogoya, SP mengemukakan bahwa, Kenali dulu adat istiadat orang Papua kemudian berikan apa yang orang Papua inginkan. ‘’Jika orang Papua mau roti berikan roti. Jangan berikan ular atau batu. (Papua Pos 13/02/12). Yang selama ini berlangsung adalah tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat meminta roti, malah diberikan ular. Ini sesuatu yang tidak mungkin.

Masyarakat merasa bahwa apapun kebijakan pembangunan yang dipakai pemerintah Republik Indonesia di tanah Papua, tidak akan merubah nasib orang Papua. UP4B pun tidak akan merubah kondisi orang Papua (seperti Otsus yang telah gagal) yang telah mengalami marginalisasi berat. Sehingga diusulkan kebijakan baru seperti yang di sebutkan di atas. Hal ini diusulkan karena terdapat perbedaan pemahaman antara orang Papua dan pemerintah RI yang mendasar terhadap sejarah orang Papua.

Orang Papua menuntut lain dan pemerintah memberikan yang lain. Maka muncul kesenjangan yang mendasar. Menurut orang Papua awal tahun 1960-an Belanda sedang menyiapkan Papua menjadi sebuah negara, tetapi di pihak pemerintah RI melihatnya sebagai negara Boneka yang harus dibubarkan. Berangkat dari pemahaman ini, RI memperkenalkan ideologi pembangunan di Papua, dengan alasan untuk menyejaterahkan dan membebaskan orang Papua dari kebodohan dan keterbelakangan. Tetapi orang Papua melihat ideologi ini sebagai ideologis untuk menghilangkan dan membungkam kemerdekaan. Maka pantas atau tidak heran bila masyarakat menolak program pemerintah dan mengatakan semua program pemerintah gagal total dalam memberdayakan manusia Papua.

Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia tidak mampu mendidik sumber daya manusia Papua atau pemerintah tidak berhasil dalam memajukan Sumber Daya Manusia Papua yang handal. Kenyataan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Papua adalah manusia dianggap bukan manusia.

Dewasa ini, melalui penerjunan Militer dalam jumlah yang sangat banyak dan kebijakan terkesan bias penjajahan. Segala dana yang bergulir di Papua sama sekali tidak menyentuh rakyat kecil. Walaupun pemerintah sering mengatakan bahwa kebijakan pemerintah melalui Otsus sudah berhasil menyejahterakan rakyat, tetapi kenyataannya tidak membuktikan bahwa di seluruh tanah Papua rakyat masih berada di bawa garis kesejahteraan. Kita bisa lihat, bahwa di segala bidang pendidikan, ekonomi, social, budaya dan sebagainya.

Sekedar mengambil contoh bahwa anak-anak umur sekolah masih saja berkeliaran mengumpulkan besi-besi tua, botol-botol bekas (cocacola, fanta, aqua dan lainnya). Pasar untuk mama-mama Papua sampai saat ini belum terwujud, sementara persaingan ekonomi semakin melonjak. Apalagi, BBM mulai naik secara drastis. Apalagi, kita bisa lihat dan ketemu ada orang Papua yang masih mabuk-mabukan di pingir-pinggir jalan. Ini membuktikan bahwa kesejahteraan rakyat kena kosong. Terlepas dari kesedaran diri sendiri, selayaknya pemerintah bisa mengambil langkah untuk membangun kemanusiaannya menjadi baik.

Melihat situasi ini apakah UP4B akan memulihkan luka Otsus? menjawab pertanyaan ini harus bertolak dari tanggapan masyarakat atasnya. Sementara masyarakat belum merestui dan menerima kebijakan dan pemerintah memaksakan masyarakat untuk mengikuti ideologi pemerintah, segala program menjadi pertanyaan besar. Bila UP4B pun sejalan dengan Otsus maka UP4B jangan dianggap bisa berhasil, karena UP4B hanya sebagai nama baru dari Otsus. kalau demikian pasti saja UP4B tidak aka berhasil dan gagal dalam membangun sumber daya manusia, padahal membangun sumber daya manusia dalam segala bidang adalah aspek yang penting untuk diperhatikan.

Ketiga, dalam menjalankan program itu tidak dengan sepenuh hati. Melihat kembali ketidakterlibatan rakyat Papua dalam menentukan kebijakan pembangun di Papua dan kurangnya memberdayakan sumberdaya manusia di Papua. Maka dalam hal ini pemerintah memberlakukan segala kebijakannya tidak dengan sepenuh hati.

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono melalui pidato Kenegaraan 16 Agustus 2006 untuk menyelesaikan persoalan Papua dengan pendekatan dialog damai. Di samping itu, SBY, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2011 adalah Masalah Papua diselesaikan dengan hati. Itu berarti, Papua perlu dibangun dengan baik dan bermartabat. Sayangnya, segala ungkapan peresiden ini tidak diberlakukan secara baik.

Apakah pidato presiden ini hanya sebagai kata-kata belaka? Ataukah pidato yang benar-benar muncul dari hati seorang pemimpin? Bertolak dari kenyataan setelah pidato presiden, Papua semakin bergejolak dalam tekanan Militer yang didrop ke Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya. Katanya, untuk mengamankan situasi di sana. Tidak dipungkiri bahwa itu adalah tugas Negara, hanya saja apakah setelah militer datang ke tempat-tempat dianggap rawan itu dan keadaan menjadi aman ataukah malah memicu koflik baru.

Maka pidato hanya tinggal pidato. Pidato sebagai kata-kata belaka dan tidak menyelesaikan masalah Papua dengan bermartabat. Pemerintahan Indonesia gagal dalam membangun Papua dengan baik, karena segala penderitaan, penindasan dan pembunuhan masih saja terasa sejak Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia secara tidak bermartabat, hingga kini. Masyarakat membutuhkan suatu hal yang paling dasar yang sampai saat ini belum di jawab, maka pemerintah harus memandang dengan mata hati. Jangan hanya karena harta-kekayaan yang ada di tanah Papua (PT. Freeport di Tembaga Pura, MIFE di Merauke dan sejenisnya yang beroperasi di Papua) membuat membangun Papua dengan hati lumpuh.

Pemerintah harus objektif dalam memandang nilai manusia dari harta kekayaan yang ada. Kalau demikian terus adanya terkesan Pemerintah Indonesia membuat berbagai kebijakan hanya karena kekayaan alam Papua daripada manusia. Pemerintah Indonesia membuat kebijakan-kebijakannya untuk mempertahankan tanah Papua, bukan manusia. Mempertahankan tanah untuk menguras tanah Papua sambil mengabaikan dan menghilangkan manusia Papua dari kehidupan. Maka, sebenanya pelanggaran HAM besar sedang terjadi di Papua, sehingga membangun Papua dengan hati menjadi lumpuh total. Bersaan dengan itu kebijakan-kebijakan dari pemerintah bukan datang dari hati dan untuk membangun manusia Papua, tetapi untuk menjajah dan menindas orang Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar