Ayahku adalah seorang pekerja
serabutan yang hanya lulusan Sekolah Dasar. Sementara Ibuku pun demikian, hanya
tamatan Sekolah Dasar. Terkadang, Ayahku pulang dengan tak membawa uang sama
sekali. Kami kelaparan, kami ingin makan. Dan yang menganggu dalam pikiran kami
hanya uang, uang dan uang. Ayah kerap meminjam uang demi anak dan istri yang
sudah merindukan nikmatnya nasi dan ikan asin. Tanpa lauk pauk pun buat kami
masih terasa nikmat meskipun hanya makan dengan nasi dan sambal. Kamipun masih
sering makan dalam satu piring bertiga, aku, ibu dan ayah.
Aku sadar dengan keadaan ekonomi keluargaku
saat itu. Meskipun banyak sekali benda-benda yang ingin sekali aku miliki.
Salah satunya, sepatu bola. Aku adalah anak yang sangat gemar pada sepak bola.
Semua teman-temanku belajar di sekolah sepak bola, sementara aku masih sering
bermain dengan bola plastik di sawah kering berjerami satu jam sebelum adzan
Magrib. Cita-citaku pun sama seperti teman-temanku yang lain, yaitu menjadi
pesepak bola profesional kelak. Dan mimpiku hanya ada pada saat aku menendang
bola dan menghilang ketika aku kembali pulang ke rumah bilik bambuku.
“ Ya Allah, begitu indahnya caramu
memberikan cobaan pada keluarga kecil kami“, kerap sekali aku berucap seperti
itu setelah shalat.
Semua kesusahan kami belum berujung,
justru malah semakin kami terlelap dan larut di dalamnya. Sempat Ayah ingin
berjualan, tapi kami tak modal. Jangankan untuk berjualan, untuk makan
sehari-hari pun kami masih sulit. Dan darimana kami bisa mendapatkan modal
untuk berjualan.
Ternyata bukan hanya aku saja
menangis, tapi aku pun pernah melihat ibu menangis. Aku paling tidak tega
melihat ibu menangis. Ibu mendekapku ketika aku menghampirinya dan berpesan
padaku agar aku sabar menerima keadaan saat itu. Dan pesan itu pun masih aku
ingat sampai sekarang, dan seolah masih melekat di otak.
Mengetahui hutang kami yang
begitu besar, melihat keadaan kami yang susah mendapatkan makan. Kemudian nenek
ku mulai datang dan ikut campur pada masalah keluarga kami. Awalnya, nenek
memberikan uang pada ibu tanpa sepengetahuan ayah. Nominal uangnya pun tidak
besar, tapi cukup untuk mengganjal rasa lapar kami untuk seminggu kedepan.
Rezeki yang Tuhan berikan melalui uang nenek mulai dicurigai oleh ayah. Sebab
ayah berpikir uang darimana hingga bisa membuat kami bisa makan enak meskipun
dengan tempe dan tahu sementara beliau jarang memberi uang, dan mungkin beliau
hanya member 1 uang 2 hari sekali atau 3 hari sekali. Itupun dengan jumlah yang
tidak besar. Ayah mulai menanyakan keganjilan tersebut pada ibu, dan ibu pun
menceritakan semua yang terjadi. Mendengar hal itu ayah memarahi ibu dengan
berkata : “ Semiskin-miskinnya keluarga kita jangan pernah meminta atau
menerima uang dari nenek, ayah masih bisa cari duit, ayah masih mampu buat memberi
kalian makan, meskipun uang yang ayah dapat hanya sedikit ” tegas ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar