Langit hari
ini cukup ceria. Dan kali ini aku tak seperti langit. Aku bosan dengan
hari-hari, karena selalu saja ditaburi kisah kepiluan yang akhir-akhir ini
kerap ditiru para penulis skenario sinetron. Aku sungguh jenuh dengan tuduhan
“si tolol” atau “si goblok” atau apapun yang terdengar seperti suara Neraka.
Aku ingin lari ke masa dimana manusia masih beradab, biarpun aku harus
berangkat ke masa lampau yang lugu dan liar. Asal jangan kirim aku ke tempat
seperti dunia yang sekarang ini !
“Oh jagad
raya, ingin ku sapa engkau dengan manis, namun belum juga ku rangkai lengkung
bibirku, kau sudah palingkan wajah sambil melempar granat panas dan bara api ke
arahku”. Sungguh aku bingung harus melakukan apa. Seingat aku, sungguh aku
sudah mengikuti alur yang Tuhan tunjukkan. Aku selalu dengar dengan khidmat
ketika Pak Abdul melantunkan adzan lima kali sehari. Aku tau harus harus
melakukan apa setelah mendengar kalimat “ Hayya Ala Sholah ”. Aku juga tau, apa
yang harus aku lakukan ketika melihat seorang anak lusuh memohon sedekah untuk
makan siang di jalanan yang penuh dengan anjing dan debu. Aku rasa, aku juga
tau cara tersenyum dan bergaul dengan baik pada sesama ataupun orang tua.
Bahkan aku mengerti kapan aku harus ikut tersenyum atau harus berbagi tangis.
Aku tau semua itu.
Detik yang
menghantam perasaan. Detik ini adalah salah satu detik yang tersakit bagiku.
Saat Ayah memaksa adikku (Fauziah) masuk ke kamarnya, dan merampas kesuciannya
dengan ditemani setan yang bertaring tajam. Adakah yang lebih dari kata sedih.
Hancur. Padahal, aku masih ingat ketika Ayah berpesan, “ Fauzi, usahakan
sembahyang tahajjud setiap malam, agar Tuhan menjauhkan kita dari perbuatan
nista. Dan hati-hati ketika kau bergaul dengan teman-temanmu ! Akhlak baikmu
harus kau jadikan pelindung,. Bukan
topeng semata, agar setiap orang memaknai dirimu”. Dan bagiku, kata-kata itu
tetap mutiara. Namun Ayah, adalah tempat kotor yang lebih-lebih dari tumpukan
sampah dan bangkai babi hutan. Ayah yang berbudi binatang.
Biarkan aku
balut luka luka-luka Fauziah, walaupun tak ada satupun perban yang mampu
mengeringkannya. Biarlah aku coba kecup keningnya, meski tak sehangat masa
indahnya seminggu yang lalu. Biarlah aku coba hapus memorinya, tentang bejatnya
10 Oktober itu ! Adikku sayang, bintang mana yang kau mau? Akan ku petik utuh
untuhmu.
Tiga hari
berlalu, dengan mata bengkakku. Dengan wajah pucat Fauziah. Dengan kemurkaan
Tuhan entah pada siapa. Dan aku mulai sulit menangis setelah ibu jarang berada
di rumah. Dan ketika mulai menemukan kata-kata janggal di telepon genggam milik
Ibu. To : Mas Rio, “ Habis pulsa ya sayang ?
Suamiku di penjara… tapi baguslah, meski dia disini tetap saja tak ada
uang. Nanti aku ke tempatmu lagi. Aku rindu bercinta”. Sungguh betapa birahi
adalah raja. Betapa uang adalah cinta. Aku tak bisa lagi menangis, meski dada
terasa penuh sesak dan tenggorokan seakan ditekan baja. Biarlah Tuhan yang
menjadi orang tua kami. Tak perlu dia, tak perlu mereka.
Fauziah adikku
sayang. Berbalut kebaya putih. Rambutnya ikal disanggul, sungguh menawan.
Adikku tampaknya cantik dan suci. Karena yang kotor adalah yang mengotorinya !
Bukan adikku sayang. Mereka bersanding di pelaminan berhiaskan bunga-bunga
melati yang berkalung di leher. Harum semerbak, seharum cinta dan kebahagiaan. Ihsan
sang pemuda baik hati duduk disamping malaikat cantikku. Pemuda itu tulus
mencintai Fauziah. Terima kasih Tuhan, Fauziah tak lagi kedinginan.
Fauziah dan
Ihsan pergi. Mereka memulai hidup barunya di tempat yang jauh dariku. Fauziah
tinggalkan aku disini sendiri. “ Semoga bahagia disana, kelak jika menjadi
seorang Ibu dan Ayah, jadilah yang terbaik”, mataku merah berkaca.
“Kak Fauzi,
Fauziah yakin Kakak mampu meski sendiri disini. Yang Fauziah tau, Kaka adalah
satu-satunya pria paling tangguh yang Fauziah kenal. Fauziah sayang Kakak”,
kami berpelukan. Mungkin pelukan paling hangat dan erat sedunia.
Dan dua tahun
sudah, Fauziah jauh dariku. Tapi aku bahagia, karena Fauziah dan Ihsan telah
dianugerahi putri cantik. Sering sekali aku dan Fauziah berkirim surat. Meski
jauh, tapi hati kami dekat. Sangat dekat…
Jum’at pagi
adalah jadwalku bertemu Pak Cahya. Aku berlari sekencang-kencangnya. Nafas
memburu. Keringat menetes satu demi satu. Pagi itu, aku mengejar bis kota yang
memang jarang melintas. Armadanya sedikit, tapi peminatnya sangat banyak. Bis
kota memang angkutan yang paling murah. Aku tinggal menyodorkan uang Rp.
1.500,- untuk sampai ke ujung jalan Soekarno-Hatta. Daerah Elang tepatnya.
Sampailah aku ditempat tujuan. Di hadapanku terpampang spanduk bertuliskan
“Waroeng Seni Pak Tjahja”. Aku memang pecinta seni. Untuk makan
sehari-hari dan untuk sekedar membeli
sabun cuci, aku menjual berupa seni lukisan dan tulisan. Aku sering membuat
lukisan abstrak dan tulisan-tulisan dongeng kehidupan. Aku melukiskan
kenyataan. Aku menceritakan kenyataan.
Di warung seni
itu, aku sering bertukar pikiran dengan Pak Cahya. Seorang seniman sederhana
yang bersahaja. Aku selalu berdiskusi tentang karya-karyaku yang aku anggap
sungguh masih sangat amatir. Kami sering berdiskusi tentang kehidupan, alam
semesta, kesulitan, kebahagiaan, hingga cinta kasih sayang. “Apa kau telah
temukan cinta sejatimu, Nak ?”, Pak Cahya menatapku curiga. Aku tersentak !
Cinta ? aku lupa dengan kata itu. Aku terlalu acuh. Aku baru menyadari, mengapa
aku selalu merasa tidak lengkap. Aku merasa selalu ada sesuatu yang hilang.
Kosong. Tapi apa benar cinta ? Aku terbingung-bingung. Apa aku pernah jatuh
cinta??? Aku lupa!
Oh, empat
tahun lalu aku memang pernah berpacaran. Meski sesungguhnya aku sangat benci
bermain hati dan perasaan dengan makhluk yang bergelar perempuan. Wanita itu
bernama Aisyah. Lima bulan berpacaran, aku memutuskan untuk menyelesaikan
hubungan. Aku merasa Aisyah terlalu manja dan memaksa. Aku tidak punya banyak
waktu untuk selalu menemaninya. Untuk setiap hari mengusap rambut panjangnya.
Untuk setiap saat mengecup keningnya. Aisyah memang baik, namun ia tak mengerti
betapa aku tak punya banyak waktu untuk bersenang-senang. Betapa aku tak suka
berleha-leha. Aku harus mencari uang. Untuk makan. Tapi terimakasih Aisyah, kau
telah ikut mewarnai cerita sejarah hidupku.
Satu tahun
setelah Aisyah. Aku memang pernah dekat dengan Nina. Kami berkenalan ketika aku
dan teman-teman sedang menonton pertandingan sepak bola di Stadion Si Jalak
Harupat. Saat itu pertandingan antara Persib melawan Persela Lamongan. Nina
adalah seorang Ladies Viking, tubuhnya tinggi, kulitnya pun putih. Aku
mengenalnya setelah aku tak sengaja menarik tangannya untuk menghindari dia
dari kerimunan massa yang brutal. Nina sangat baik, dan sempat mengisi
hari-hariku yang terasa hampa. Ketika pertama mengenalnya, Nina terlihat
seperti wanita yang sangat sempurna. Tapi sayangnya, ketika hubungan kita
menjadi lebih jauh ternyata Nina tidak bisa menerima semua yang telah menjadi
prinsipku. Bukan aku munafik, tapi aku tidak suka pada wanita yang tidak paham
batas-batas cinta dan buta akan etika saat berpacaran. Aku bukan pria yang mau
berselimut berduaan, dengan wanita yang belum menjadi istriku. Dan terimakasih
Nina, kau juga telah mewarnai cerita hidupku.
Dan terakhir,
6 bulan yang lalu. Aku bertemu wanita bernama Tia di sebuah base camp pencinta
alam (PA). Tia sangat ramah. Wanita itu begitu sopan dan cerdas. Mungkin dalam
pandangannya aku begitu baik, sehingga Tia mulai mendekatiku setelah beberapa
Minggu kami saling mengenal. Sebenarnya aku bukan pria yang mudah jatuh cinta,
tapi satu-satunya alasan menerima Tia adalah aku ingin disayangi. Dunia… Aku
belum mati ! Aku ingin ada manusia yang menganggap aku istimewa. Aku ingin
dianggap ada. Tapi sayangnya hubungan kami hanya bertahan sembilan belas hari.
Pada suatu malam yang remang di salah satu kamar base camp PA, aku melihat Tia
sedang bercumbu mesra setengah telanjang dengan pria yang entah siapa. Maaf
Tia, mungkin aku tak bisa memenuhi hasratmu. Dan terimakasih, kau pun telah
ikut mewarnai lembaran hidupku.
“Begitulah
kisahku, Pak”. Dari sekian wanita yang aku kenal belum ada yang benar-benar aku
cintai. Masalah berbeda kebiasaan dan berbeda pendapat, aku masih bisa maklumi.
Tapi jika masalah yang berkaitan dengan masalah penghargaan terhadap kehidupan,
aku tak bisa terima.! Aku takut membenci perempuan, Pak. Dan aku takut tak
pernah mau lagi menjalin hubungan dengan perempuan”. Aku tertunduk lelah.
“Kamu tunggu
saja. Dia pasti ada…” Pak Cahya tersenyum begitu hangat. Aku langsung
terinspirasi untuk melukiskan senyuman di kanvas. Aku ikut tersenyum seraya
pamit. Waktunya shalat Jum’at untuk yang mengamalkan.
Jum’at pagi
datang lagi. Kali ini aku tidak kemana-mana. Aku sibuk mencorat-coret kanvas.
Memuntahkan isi kepala. Lagi-lagi warna gelap yang tergores disana, sehingga
terkesan klasik. Lukisanku jarang sekali berwarna-warni. Entahlah apa sebabnya,
aku sendiri belum tau.
Pagi itu, aku
masih menunggu. Menunggu “cinta”, aku memang bukan pria manja atau manusia yang
hanya bisa menggantungkan hidup pada orang lain. Tapi bukankah semua manusia di
muka bumi butuh cinta. Butuh orang yang dirinya istimewa. Bukan begitu ?
Aku berusaha
membuka diri. Meski sesungguhnya sangat sulit sekali. Tapi aku butuh cinta !
Aku ingin sekali disayangi ! Salahkah aku ?
“Fauzi…, nama
yang sederhana. Sudah lama aku tak mendengar nama itu”, Nurul tersenyum
menatapku. Matanya ramah dan teduh memakai softlens birunya. Entah mengapa, aku
merasa tenang berada di sampingnya. Dan sedikit gugup. Aku aneh, tak seperti
biasanya.
Aku mengenal
Nurul sebulan lalu. Tanpa sengaja kami berkenalan saat bertemu disebuah sanggar
seni. Ternyata, Nurul adalah teman dari sahabatku sendiri, Ale. Hubungan kami
semakin dekat. Apalagi setelah Ale mengetahui aku mengenal Nurul.
Kami semakin
akrab saja. Banyak kesamaan yang aku rasakan bersama Nurul. Kami sama-sama
menyukai seni meskipun berbeda aliran. Diskusi kami hangat dan padat. Kami
sama-sama menyukai musik dan sepak bola. Dan kami sama-sama orang aneh.
Tiba-tiba, aku
merasa sesuatu yang asing memenuhi jiwaku. Aku merasa ada yang hilang jika
sehari saja tak mendengar nama Nurul. Aku merasa ada yang kurang jika sehari
saja memikirkan nama Nurul. Ah, apakah ini berlebihan ? Mengapa aku merasa
nyaman jika berada di dekat Nurul. Mengapa setiap saat aku selalu rindu suara
Nurul !?. Mengapa ? tak biasanya perasaanku seperti ini terhadap perempuan.
Nurul yang aku
kenal adalah sosok wanita yang menghargai hidup. Sosok wanita yang pengertian,
supel, penyayang, cerdas, menyenangkan dan enerjik. Meski Nurul sama sepertiku.
Kami sama-sama tidak mempunyai tempat yang cukup hangat. Tidak mempunyai sosok
yang mengayomi kami setiap saat. Hanya Tuhan yang menghangatkan kami. Mungkin,
hal itu yang menyebabkan kami sepaham. Kami saling mengerti. Terimakasih Tuhan.
Aku baru
menyadari, ternyata Nurul pun merasakan hal yang sama. Nurul terang-terangan
mengutarakan konflik perasaannya padaku. Kata Nurul, kesimpulannya adalah
cinta. “Nurul Cinta Fauzi”, kalimat itu menusuk perlahan. Meski masih ragu,
tapi sang yakin berperan lebih dominan. Akhirnya, aku menyambut Nurul. Tuhan,
jaga kami…
Lima puluh
hari yang indah ! Aku sebagai kekasih Nurul hanya sebulan dua puluh hari saja.
Ternyata keadaan harus memisahkan kami. Aku merasa sesuatu yang menuntunku
untuk meninggalkan Nurul. Bukan karena wanita lain ! Bukan karena kesalahan
Nurul ! Ini salahku !
Sungguh,
perasaanku berantakan ! Sedih memuncak. Percayalah, setiap aku mengingat Nurul
dan semua kisahnya, mataku selalu meneteskan air mata. Ah, aku memang pria
cengeng, yang selalu larut dalam masalahku sendiri. Dan hatiku tak bisa memungkiri betapa
sayangnya aku pada Nurul. Aku sungguh sangat kehilangan Nurul. Sungguh. Tidak
ada satu perempuan pun yang pernah aku tangisi kepergiannya selain Nurul…
Mungkin, aku
belum pantas menjadi yang istimewa untuk siapa pun. Aku terlalu sibuk dengan
hidupku. Aku terlalu larut dalam kesedihanku. Aku terlalu fokus pada konflik
diriku sendiri. Aku terlalu benci pada keadaan. Aku tak ingin membawa Nurul
pada kesedihan. Aku tak ingin merepotkan Nurul. Aku terlalu sakit. Parah. Cepat
sembuh..! Cepat pulih...!
Aku ingat kata-kata Pak Cahya..” Tunggu saja, dia pasti
ada…”.
Jika saatnya tiba, aku berharap “dia” adalah Nurul.
*JIE