Kosong, kehidupanku berasa kosong sejak aku meninggalkan Nurul. Tak ada lagi wanita yang selalu mengingatkan aku untuk segera menunaikan shalat Magrib ketika adzan bergema. Aku pergi meninggalkan Nurul pada 13 November lalu. Karena suatu alasan, aku memilih pergi.
Sabtu
sore, ketika aku duduk di teras rumahku sambil membaca buku autobiography
tentang Sir Alex Ferguson, aku kedatangan tamu dengan mengenakan celana hitam
dan kaos putih yang agak sedikit lusuh.
Dan tamu itu adalah teman lama sekaligus sahabatku, namanya Ale.
Dan Ale adalah sahabat ku semenjak di aku tinggal di Bandung. Entah dari siapa
Ale mengetahui alamat baruku di Jakarta.
Ale bukan hanya sekedar sahabat, tapi dia melebihi dari itu, ku anggapnya sebagai kakakku meskipun umur kami hanya terpaut dua hari. Kami telah banyak meluangkan waktu bersama. Bukan hanya sekedar makan satu porsi nasi bungkus bersama-sama. Bahkan bisa lebih dari itu. Ale sangat mengerti dengan keadaanku yang susah. Aku sangat gembira saat dia mau berkunjung ke rumahku di bilangan Jakarta. Lepas dari itu, kami mulai berbincang tentang segala hal hingga pertandingan antara Everton vs Liverpool berakhirpun kami belum selesai mengobrol. Mulai memasuki jam 23.26 wib, Ale mulai menanyakan tentang kisah asmara yang aku alami saat ini. Aku menjawab pertanyaan itu dengan jawaban: "Tidak, aku tidak sedang berpacaran dengan siapapun saat ini". "Wow !!! apakah kamu masih menyesal dan merasa bersalah karena meninggalkan Nurul ?" tanya Ale. Sejenak terhenti lalu aku terdiam dan hanya ada suara jarum jam dinding yang mengalun. Dan seakan aku tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ale saat itu.
"Jujur, aku masih merasa kesepian sejak meninggalkan Nurul. Aku mencintainya, tapi aku takut melukainya" jawabku pada pertanyaan Ale. "Percuma jika sampai saat ini kau masih mengharapkan Nurul..." sahut Ale. " Maksudmu, Le ?" tanyaku."Aku sengaja datang kesini karena tadi siang aku menghadiri undangan resepsi perkawinan Nurul di rumah Suaminya di Temanggung. Karena jaraknya tak begitu jauh dari tempat tinggalmu, maka aku menyempatkan mampir kesini", tegas Ale. " Lantas, darimana kamu tau kalau aku tinggal di Menteng ?" tanyaku kembali. "Aku tau alamat lengkapmu dari pak Cahya" jawab Ale.
Aku tak tau harus apa! apakah aku harus sedih ataukah bahagia mendengar pernyataan Ale yang menceritakan tentang resepsi Nurul yang berlangsung tadi siang. Dan mengapa Nurul begitu cepat memutuskan untuk segera menikah sementara aku baru meninggalkannya 10 hari yang lalu. Aku tau betul tentang apa yang ada pada pikiran Nurul, dan mana mungkin dia bisa secepat itu membuat keputusan. Dan yang aku tau, tak ada lagi pria yang mencoba memiliki hati Nurul ketika kami berhubungan. Nurul sempat mengucapkan kata sakral padaku bahwa dia takkan pernah mau hidup dengan orang yang sama sekali tidak dicintainya. Dan dia pun takkan bisa melupakan kata sakral dalam waktu yang singkat.
Tapi, ah sudahlah !!! aku mengantuk, dan Ale pun sudah tak kuat menahan matanya untuk tetap terbuka. Mungkin ini adalah kesalahan yang menjadi bumerang untukku sendiri karena tak pernah menghargai orang yang telah menyayangiku.
Minggu pagi, sekarang jam 08.49 wib. Ale pamit pulang padaku dan aku hanya bisa mengantarkannya sampai terminal. Karena dia harus segera kembali lagi ke Bandung. Menghabiskan satu malam bersama Ale aku jadi kangen pada saat-saat aku masih suka menginap di rumahnya di Pasteur.
Ku lanjutkan langkahku hari ini sehabis berpisah dengan Ale, aku berencana membeli buku di JaCC Kebon Melati Tanah Abang. "Untuk Negeriku: Berjuang dan Dibuang" sebuah buku yang sudah aku niatkan untuk membelinya karena buku ini adalah buku yang terlambat aku miliki.
Matahari seakan murka, aku di cambuk oleh panasnya yang melukai kulit. Tenggorokanku merindukan air dingin yang seolah belum menyegarkan kesatnya bibir.
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar