Rabu, 09 Mei 2012
OLAH RAGA OTAK
Seorang teman pernah diberi hadiah berupa “sindiran” keras oleh Kepala Sekolahnya di sebuah rapat guru. Penyebabnya karena sering “ketahuan” meninggalkan kelas meski seharusnya dia berkewajiban mengajar. Wajahnya merah padam saat itu. Mungkin malu atau bisa pula karena marah. Tapi dia beruntung dari teman saya yang lain. Yang terpaksa “disingkirkan” karena sering mangkir dari jam mengajar meski sudah diperingatkan berulang kali.
Menurut seorang Kepala Sekolah, sebenarnya hanya satu penyebab kenapa seorang guru tega meninggalkan kelas saat jam mengajar. Jenuh, bosan, dan lelah, bagi beliau hanyalah alasan yang mengada-ada. Hal itu terjadi sebenarnya karena pribadi yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi terhadap materi yang diampunya. Seseorang yang berilmu, pastinya tidak akan jenuh untuk menyampaikan apa yang diketahuinya kepada muridnya. Bahkan ada keinginan menggebu untuk mendapat kesempatan berbagi ilmu kepada orang lain.
Terus terang, saya berada diantara setuju dan tidak. Tapi mari kita lihat saja sisi positifnya. Sebenarnya agak aneh juga, jika seorang guru tidak memiliki kompetensi mengajar. Meski sesungguhnya “keanehan” ini bukan lagi hal yang asing di telinga. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Alasannya memang sangat beragam. Mungkin karena sekadar memenuhi jumlah jam mengajar. Bisa pula karena memang tak ada pilihan lain.
Namun, bukan itu yang menjadi inti di sini. Biarlah hal itu sudah terjadi dan semoga tidak kembali terulang. Yang pasti kita perlu kembali menengok diri sendiri, untuk melihat seberapa kita bisa mempertahankan kompetensi mengajar selama ini.
Kemampuan mengajar adalah sebuah ketrampilan yang sangat dipengaruhi oleh sikap dan kepribadian, selain juga kecerdasan. Kemampuan membawa suasana belajar yang menyenangkan tidak akan bertahan lama jika sikap dan kepribadian buruk tidak bisa dihilangkan. Humor yang lucu bisa menjadi garing jika kewibaan tidak bisa dijaga.
Selain sikap dan kepribadian, kecerdasan juga menjadi dasar penting dalam meningkatkan ketrampilan mengajar. Kurang cerdas dan tidak cepat tanggap terhadap persoalan kelas, juga akan membawa suasana monoton yang bisa membosankan. Sering salah dalam menyampaikan materi pembelajaran juga bukan kesalahan yang patut untuk seorang pengajar. Kalau sekali-sekali salah, mungkin bisa dimaklumi. Asal itu, tidak sering dan harus ada klarifikasi begitu menyadarinya.
Agar kemampuan mengajar seorang guru bisa dipertahankan, maka saya menganjurkan olahraga otak sebagai sebuah cara yang mungkin bisa dicoba. Terinspirasi oleh seorang analis sistem dan pemerhati sekuriti, Steven Haryanto, saat menganalisa tentang perkembangan teknologi dan komunikasi di negeri ini.
Teknologi dalam hal ini memang tidak berkaitan langsung dengan proses pembelajaran, tapi analoginya bisa sangat tepat. Menurut sebuah studi ada sekitar 5 milyar gigabyte banyaknya arus informasi yang diterbitkan sepanjang tahun 2002. Media yang digunakan berupa cetak dan digital. Prosesnya bisa melalui koran, televisi, radio, internet, handphone dll. Jumlah yang sangat luar biasa sebagai bagian dari efek perkembangan teknologi.
Sayangnya, segala kemudahan itu ibarat pedang bermata dua. Masalahnya, kita lebih sering kelebihan informasi meski kadang tidak dibutuhkannya. Jika tidak diimbangi olahraga informasi, maka akan terus yang menumpuk menjadi timbunan data yang terbengkalai. Agar tidak terjadi, maka bukalah kembali file-file hasil download di komputer. Lakukan pengelompokan berdasarkan selera pribadi, asal konsisten. Jika perlu, buka kembali file-file tersebut untuk kemudian ubah nama file yang lebih sesuai dengan isinya. Semua ini memang pekerjaan manual. Tapi justru di saat itulah olah raga sedang dilakukan. Mengolah atau sekadar membuka kembali informasi agar tidak semakin terlupakan. Sayang kan, begitu banyak informasi di sekitar kita hanya tersimpan dan tersembunyi begitu saja.
Nah, sekarang mari kembali ke pokok pembicaraan awal. Jika berkenan saya ingin bertanya terlebih dahulu. Seberapa sering kita membuka buku-buku di atas meja? Seberapa sering kita menyiapkan rancangan proses pembelajaran sebelum masuk kelas?
Apakah sesering saat awal-awal kita mengajar? Ataukah hanya sekali-kali saja? Atau jangan-jangan sama sekali tak tersentuh? Bahkan dimana dan bagaimana nasib buku-buku itu saja kita tak peduli.
Mungkin kita sudah begitu percaya diri sehingga merasa tak perlu lagi belajar. Karena sudah bertahun-tahun mengajar, mungkin semua materi pelajaran itu sudah terpatri di otak kita. Lantas kita menjadi sosok yang sombong dan menutup diri terhadap suatu kenyataan bahwa saat ini seorang guru tidak lagi bisa memonopoli sumber belajar siswa.
Sadarkah kita bahwa pengetahuan selalu berkembang? Pengetahuan bukan barang mati yang begitu ditemukan tidak akan berubah. Pengetahuan bergerak dinamis yang selalu saja menemukan hal-hal baru yang memperbaiki kekurangan yang lalu.
Jangan tersinggung jika di kelas para anak-anak kita bersikap tak menyenangkan. Hadir sekadar raganya saja. Nyawa dan otaknya entah berada di mana. Mungkin berada di warnet sebelah sambil browsing informasi terbaru. Atau mungkin tengah berada di perpustakaan sibuk membuka buku atau koran terbaru. Sehingga keberadaan mereka di kelas hanya sekadar absen saja.
Sikap percaya diri kadang bagai pedang bermata dua pula. Di sisi lain menguntungkan karena memang sudah seharusnyalah kita percaya diri saat menjalankan profesi. Namun terkadang bisa bermasalah di sisi lain. Saat sikap ini hadir secara berlebihan sehingga memaksa alam bawah sadar kita untuk menutup diri terhadap sumber informasi lain, maka sesungguhnyalah saat itu kita ibarat sedang mengebiri diri sendiri.
Ayolah, olahragakan otak kita! Ibaratnya me-refresh kembali mesin otak kita sehingga mudah dibuka saat hendak digunakan. Atau men-defragmen kembali pecahan-pecahan data di otak yang mungkin sudah berserakan. Atau apalah istilah yang anda suka. Yang penting didalamnya terdapat proses membuka kembali materi-materi yang sudah lama tersimpan. Mungkin sudah banyak yang terlupakan. Atau bisa jadi ternyata itu menjadi pengetahuan yang betul-betul baru bagi kita.
Seorang teman pernah memberikan tips ringan pada saya, bagaimana caranya untuk meng-olahraga-kan otak. Kalau kamu biasa menggosok gigi pakai tangan kanan, latihlah tangan kirimu untuk melakukannya. Atau itu terlalu sulit, cobalah dengan menyisir rambut dulu. Mulailah dari hal-hal yang ringan-ringan dan berlanjut sampai ke hal yang lebih rumit. Menulis, misalnya. Intinya, lakukan rutinitasmu dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Dengan cara ini kreatifitas akan semakin terasah. Begitu kata seorang teman dengan gaya seolah untuk menyakinkan saya.
Seorang supir taksi di London mengamalkan tips ini dengan selalu mencari jalan tanpa peta. Dia berkeyakinan bahwa dengan cara ini, otaknya bisa ikut bekerja. Jadi bukan hanya otot yang selalu bekerja, otak juga perlu. Jangan sampai belum juga tua, Alzheimer sudah akut.
Di kelas, otak juga bisa berolah raga. Mengadopsi tips dari teman, mulailah gunakan cara yang tidak biasa dalam proses tatap muka di kelas. Terapkan metode pembelajaran yang tidak monoton. Berikan kesegaran baru di kelas. Percayalah, bukan hanya siswa saja yang beruntung. Kreatifitas otak kita juga akan semakin terasah.
Tips lain saya teruskan dari hasil penelitian para ilmuwan di Amerika. “Baca, baca, baca. Isi teka-teki silang. Main catur atau scrabble. Belajar bahasa asing atau pelajari hobi baru. Pokoknya segala sesuatu yang bisa merangsang otak berpikir”. begitu kata Dr Amir Soas dari Case Western Reserve University Medical School di Cleveland. “Kurangi menonton TV. Ketika menonton TV, otak anda menjadi netral”, begitu beliau tambahkan.
Jadi, saat penyakit suka meninggalkan kelas dengan segudang alasan yang konon lebih penting dari “sekadar” mengajar di kelas, maka mulailah kembali mengolahragakan. Ingatlah selalu bahayanya ketika olah raga otak sering kita tinggalkan, sehingga kita menjadi keminter. Dan ciri-ciri orang keminter diantaranya adalah tidak tahu bahwa dirinya itu sebenarnya tidak mengetahui.
Ibarat seorang atlit yang harus sering berlatih dengan ditunjang asupan gizi secukupnya, maka begitulah seharusnya seorang guru. Maka sekali-sekali kita akan merasakan kembali nikmatnya sensasi saat dulu pertama kali mengajar. Saat perasaan ini deg degan karena khawatir materi yang disampaikan kurang siap. Karena kita tahu, bahwa kita dan siswa sebenarnya berada dalam keadaan berkompetisi saling menggali pengetahuan.
Saya percaya, sulit rasanya meninggalkan kelas yang menyenangkan begitu. Dan seandainya anda nantinya tidak menemukan manfaat apapun setelah mencoba cara olahraga otak ini, toh juga tidak ada ruginya. Lagipula tidak ada salahnya mencoba, bukan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar