Tentang buku, tentang gunung, tentang sepakbola, tentang lagu, tentang berjualan, tentang kota Bandung, tentang kampus dan tentang warna biru adalah beberapa pokok pembahasan yang kami ulas setiap kami bertemu.
Aku adalah Aidil, lelaki 23 tahun yang selalu menyempatkan diri ke Bandung setiap akhir bulan. Terminal Leuwipanjang seolah tak asing dengan langkah kedatanganku. Maklum, aku berkunjung dengan armada bus kelas ekonomi.
Tampak ramai riuh suasana terminal jam 10.00 pagi Sabtu itu. Dendang sang pengamen bernyanyi lagu khas Sunda, sahut sahutan beberapa pedagang asongan juga tak lupa dialog tawar menawar seorang turis lokal dengan pedagang dodol khas Jawa Barat.
Melamun, memandang penumpang yang ramai berlalu lalang naik turun bus segala jurusan. Aku duduk pada bangku kayu didekat pintu masuk terminal. Aku menunggu seseorang yang selama ini jadi penyemangatku. Mawar.
Pukul 10.37, sosok yang ditunggu akhirnya tiba. Dia sudah hafal dan tahu tempat dimana aku menunggu. Wajah wanita 23 tahun itu tampaknya masih agak mengantuk karena masih terlihat jelas dari raut mukanya. Berkerudung hitam dengan syal Persib kesayangan yang terikat di leher seakan menjadi cirinya.
"Assalamualaikum, Aidil ! Wileujing Sumping" tegur dia dengan senyumnya.
"Waalaikumsalam, Mawar". sahutku.
Serasa suhu mulai agak hangat setelah Mawar datang. Dan obrolan pembuka yang dibahas adalah soal isi perut yang mulai kelaparan. Mawar merekomendasikanku dan agak terkesan memaksa untuk mampir ke kedai lesehan milik Pak Edong. Setibanya disana, berselang enam menit setia menunggu, maka tersajilah dua porsi Batagor siap santap hasil suguhan pria paruh baya. Aku duduk bersila kaki disebelah kanan Mawar sementara dia duduk merapat diantara aku dan bilik bambu anyaman. Kedai yang sederhana yang sedia menyajikan aneka kuliner lokal yang penuh dengan pernak-pernik Maung Bandung dan padat dikunjungi pembeli. Maklum, karena lokasinya berada di kawasan Terminal.
"Kamu mau minum apa ?" tanya Mawar.
"Teh tawar . . ." jawabku.
Disaat kami asyik mengobrol, aku merasa ada sepasang bola mata yang memperhatikan kami semenjak kami duduk. Pandangannya menyelinap disaat kami lengah dan seolah ada pertanyaan yang siap terlontar.
"Mawar, saha eta nami na ? mani akrab pisan ! kabogoh nyah . . . ?" Tanya Pak Edong si penjual Batagor.
"Sanes, Aki ! Iyeu rareuncangan ti Tangerang wungkul. Ah, Aki mah hoyong teurang wae . . .!!" jawab Mawar dengan takzimnya.
Ku perhatikan mata Mawar saat dia menjawab pertanyaan Pak Edong. Matanya berbinar dan melirik tak karuan, sepertinya dia sedikit malu saat menjawab.
-------
Selesai makan, kami angkat kaki lalu mulai melangkah pergi. Aku raih tangan kirinya lalu ku genggam erat seperti tidak akan terberai oleh apapun. Kami bergandengan tangan menuju keluar area terminal. Sepertinya, pertemuan kali ini agak berbeda dari sebelumnya. Aku merasakan ada kenyamanan saat menggengam tangannya, seperti ada berjuta kehangatan rindu dalam genggaman itu.
Berada cukup jauh dari area terminal, kami berdua berdiri pada trotoar jalan untuk memberhentikan angkot. Dan genggaman itu belum terlepas dan malah semakin erat. Kami menunggu cukup lama, namun sesekali aku bertanya tentang siapa sebenarnya Pak Edong. Aku penasaran, karena mereka terlihat begitu akrab.
Aku cukup mengerti dengan perbincangan mereka, karena aku sedikit mengerti bahasa Sunda. Mawar menceritakan awal perkenalannya dengan Pak Edong dengan rinci, dengan diiringi senyum dan tawa kecil saat memaparkan cerita.
Cerita tentang Pak Edong masih berlanjut setelah kami duduk berderet di dalam angkot arah Leuwipanjang - Lembang.
Setelah pokok pembahasan tentang Pak Edong selesai, aku mulai bercerita tentang kejadian unik saat aku berada dalam bus pada perjalanan menuju Bandung. Saat aku membuka ceritaku, Mawar menyandarkan kepalanya tepat di bahu kananku. Tangannya kembali meraih tanganku yang saat itu merangkul tas ransel marun dipangkuanku.
Aku sedikit malu, karena di dalam angkot tersebut ada seorang ibu bersama dua anaknya yang duduk tepat dihadapanku. Beliau memperhatikan kemesraan kami. Sontak aku mengalihkan perhatian dengan menolehkan pandangan ke arah luar pada kaca jendela dan memperhatikan manusia silver di lampu merah pada perempatan jalan.
Mawar masih bersandar lalu hening. Sepertinya dia tertidur karena kekenyangan yang berdampak pada matanya hingga mengantuk. Lawan bicaraku tertidur di dalam angkot, mendadak, terasa mulai jenuh siang itu. Hanya terdengar lantunan lagu lawas Slank yang bersumber pada pengeras suara menjadi pengusir keheningan. Karena terkadang mendengarkan lagu masih lebih baik daripada mesti larut dalam kesepian.
Aku memperhatikan suasana dijalanan, terlihat banyak kerumunan berkaos biru. "Bandung Lautan Biru" sebuah kalimat yang sering Mawar ucap jika kami membahas tentang sepak bola. Dari dalam angkot, aku dapat melihat langsung bukti nyata dari ungkapan tersebut. Begitu banyak para Bobotoh dan Viking di sepanjang jalan sambil bernyanyi kompak bagai paduan suara dan meneriakkan : " PERSIB . . . PERSIB . . . PERSIB !!!".
Mawar terbangun saat angkot yang kami tumpangi berada di tengah-tengah kerumunan. Kemudian Mawar membentangkan syal yang terbelit dilehernya lalu ikut menyumbang polusi suara dan lantang berteriak "PERSIB" dari dalam angkot meskipun saat itu banyak penumpang berdesakan di dalam angkot. Dia begitu antusias jika mendengar kata "PERSIB", seolah tidak terlalu peduli pada orang disekitar dan lupa sedang dimana dia berada.
Setelah kami agak menjauh dari rapatnya kerumunan, Mawarpun berhenti menyerukan yel yel dan jargon Persib. Dengan tangkasnya dia mengambil botol air mineral yang ku pegang dan meminumnya. Dia kehausan, mungkin tenggorokannya kering setelah cukup lantang berteriak. "Darimana pun anda berasal, tapi jika anda berada di Bandung maka anda harus mendukung Persib . . . " kalimat yang dia tegaskan dengan logat Sunda-nya kepadaku setelah selesai minum. Lalu dia menyambung kalimat dengan mengajakku menonton laga Persib vs Persela Lamongan sore nanti. Aku menganggukkan kepala, pertanda setuju dan mau.
Aku adalah sang fanatik sepak bola, namun aku tak begitu suka dengan sepak bola Liga Indonesia, entah mengapa, aku kurang suka. Namun demi Mawar, aku akan coba menikmati laga itu.
"Jujur, padahal aku sudah tidak mau pulang ke Lembang", sebuah kalimat yang tiba-tiba terlontar dari mulut Mawar. "Kenapa kamu bilang seperti itu ?" tanyaku. Tapi dia terdiam tak menjawab pertanyaan itu.
Dua hari yang lalu sebelum aku pergi ke Bandung, aku memang sempat meminta kepada Mawar agar mengajakku ke Lembang tuk bertemu dengan Ayahnya. Namun, saat itu Mawar agak keberatan dengan permintaanku. Awalnya Mawar menolak, namun karena aku terus meyakinkan bahwa ada niatan baik saat nanti bertemu Ayahnya, akhirnya dengan berat hati dia mau mengabulkan keinginanku.
-----
Tibalah kami pada sebuah gang menuju rumah Ayahnya yang tak jauh dari tempat kami turun dari angkot tadi. Raut mukanya berubah seperti mulai kesal, pandangannya padam dan takut, seolah dia akan bertemu dengan seseorang yang paling menyebalkan dan paling menakutkan di dunia. Gelak tawa saat di terminal dan kobaran semangat di dalam angkot mendadak lenyap. Dia menjadi sosok pemurung ditiap langkah menuju rumah Ayahnya.
Aku mencoba menghiburnya dengan bernyanyi. Sebuah lagu yang biasa kami nyanyikan jika kami berinteraksi lewat telepon :
"jika nanti ku sanding dirimu . . .
miliki aku dengan segala kelemahanku . . .
dan jika nanti engkau disampingku . . .
jangan pernah letih, tuk mencintaiku . . . "
Lalu dia merespon dan dengan spontan melanjutkan lirik terakhir lagu itu : "Akhirnya, ku menemukanmu . . . ". Bibirnya bernyanyi, namun matanya masih terlihat sedih dan tatapannya pun kosong.
Detak jantungku agak berdetak lebih kencang saat berada di pekarangan rumah Ayahnya. Ku tutup pintu pagar rumah bercat hitam yang sedikit berkarat pada bagian pegangannya sambil berkata dalam hati : "Bismillah, Optimis Aidil . . . Optimis".
Mawar mempersilahkan ku duduk pada kursi kayu yang terpajang kaku di teras. Dan beranjak masuk ke dalam rumah. Tapi aku memilih untuk berdiri sejenak dan menyandarkan tubuhku pada tiang besi seukuran pergelangan tangan sambil ku pandangi aneka tanaman hias yang tertata rapi di halaman rumah.
Terdengar suara pintu yang terbuka dibelakangku. Aku membalikkan badan sedikit membungkuk dan berucap "Assalamualaikum" pada sosok lelaki berusia 47 tahun itu, Pak Burhan. Aku meraih tangannya untuk berjabat dan mencium tangan, namun reaksinya berbeda. Pak Burhan malah mengacuhkan ajakanku untuk bersalaman. Apapun alasannya, sepertinya dia memang tidak mau bersalaman denganku.
Pak Burhan mempersilahkan ku duduk dengan nada yang agak tinggi. Aku beranggapan, Pak Burhan tak suka dengan kedatanganku. Tapi semoga asumsiku salah. Dia bertanya padaku tentang apa maksudku berkunjung ke rumahnya. Aku jawab dengan tenang tapi agak sedikit canggung. Karena aku takut ada yang salah dari ucapanku.
Aku memaparkan semua tanpa basa basi tentang yang selama ini terjadi antara aku dan Mawar. Tentang perasaan yang kurasakan pada anak perawannya itu. Salah satu diantara aku dan Mawar memang tidak ada yang berucap cinta, namun kami saling melengkapi, kami saling menyayangi. Kami memiliki perasaan yang sama.
Lalu, Pak Burhan kembali bertanya : "Apa dengan semua itu bisa menjamin kalian bahagia ?".
Saat aku bersiap untuk menjawab pertanyaan kedua dari Pak Burhan, lalu Mawar menghampiri kami dengan membawakan dua gelas teh hangat dan ubi rebus sebagai jamuan. Jawaban yang sudah aku rangkai tiba-tiba hilang kata demi kata. Dan aku pun terdiam sambil melihat tangan Mawar menyuguhkan jamuan.
Setelah jamuan tersaji, Pak Burhan meninggalkanku dan kembali masuk ke dalam rumah. Lantas bagaimana dengan jawaban dari pertanyaan tadi !?. Haruskah aku jawab sementara Pak Burhan tak ada bersamaku. Haruskah tersimpan begitu saja.
Aku mencoba bersabar dengan sikap Pak Burhan padaku. Semua perlakuannya padaku mungkin adalah salah satu cara untuk bisa memberi yang terbaik bagi anaknya. Tapi perlakuan Pak Burhan sangat berbeda seperti dengan perlakuan Ibu Hanni, orang tua Mawar yang begitu baik padaku.
"Maka perhatikanlah dedaunan, karena akan selalu ada alasan mengapa mereka jatuh ke bumi . . . " Kalimat yang Mawar ucapkan setelah aku menceritakan apa yang aku perbincangkan tadi dengan Pak Burhan.
Tatapannya kembali kosong saat mengucapkan kalimat tadi. Dan sejak awal tiba disini pun tak ada senyum yang kulihat dari Mawar. Seolah ada beban berat yang dipikul Mawar di rumah ini.
Selang 35 menit, kami pamit. Aku menghampiri Pak Burhan yang duduk bersila di tengah rumah. Aku kembali mencoba untuk bisa menjabat tangannya, namun yang ku terima sama seperti kejadian di teras rumah.
------
Kini kami berdua kembali berada pada sebuah angkot dengan jurusan dan warna yang berbeda. Kami bertolak dari Lembang menuju Stadion Si Jalak Harupat. Semua penumpang dalam angkot adalah para Bobotoh yang hendak menonton laga Persib. Mereka kompak memakai jersey dan atribut Persib, namun aku hanya memakai kaos hitam bergambar wajah Yoko Ono. Sementara Mawar, hanya memakai kaos lengan panjang berwarna jingga bertuliskan "KOMUNITAS RUMPUT " pada bagian dada.
Seisi angkot bergemuruh dengan nyanyian ala supporter Persib. Semakin lama nyanyian itu semakin keras, karena jumlah penumpang semakin bertambah dan jumlah anggota paduan suaranya pun bertambah. Inilah Bandung, inilah Persib, aku merasakan atmosfernya secara langsung meskipun cuma hanya di dalam angkutan umum.
Setibanya di Stadion, Mawar bertanya : "Kapan kamu akan benar benar mendukung Persib". Lalu ku jawab : "Suatu hari nanti, dimana ada mantan pemain Chelsea yang bermain untuk membela Persib". Mawar begitu tau betul, bahwa aku adalah seorang Trueblue, sebuah julukan untuk pendukung Chelsea.
Pada saat mengantri menuju pintu masuk stadion, terdengar ada seseorang yang memanggil nama Mawar. Kami menengok ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara tersebut. Namun sosok pemilik suara itu datang dari arah belakang dan menepuk pundak kami. Ternyata, dia adalah Pak Edong, si penjual Batagor di terminal. Berkaos dan beratribut khas Persib yang dia kenakan begitu lengkap, bahkan pipinya di warnai biru.
Dia mengabadikan keberadaan kami di Stadion dengan kamera canggih di tangannya. Seusai memotret kami, Pak Edong bertanya : "Gaduh tiket acan? ". Lalu Mawar menggangukan kepalanya, pertanda bahwa dia sudah punya tiket masuk. "Sok atuhlah, ningali sareung abdi. . ." ucap Pak Edong.
Kini kami bertiga ada dalam ramainya tribun utara Si Jalak Harupat. Aku duduk tepat berada diantara Pak Edong dan Mawar. Pak Edong sibuk mendokumentasikan jalannya permainan dengan kamera canggihnya, sementara Mawar begitu vocal dengan teriakan yel yelnya. Lalu aku hanya duduk menikmati laga.
Bising gemuruh suasana stadion seakan membakar semangat Mawar. Berbeda dengan saat tadi berada di Lembang, dia begitu murung dan sedih, seakan ada rahasia yang belum Mawar ceritakan padaku.
Sesekali dia menoleh ke arahku, melihatku hanya duduk terdiam menonton pertandingan. Dia kerap menyuruhku untuk berdiri dan ikut meramaikan nyanyian khas para Bobotoh. Tapi aku hanya memilih untuk tetap duduk.
------
Sore itu, 17.47 WIB. Kami berdua telah usai menonton laga yang berkesudahan 1 - 1. Kami berdua tercium aroma keringat yang lengket di badan. Namun kami tetap asyik beriringan diantara para Bobotoh lain yang hendak pulang. Mawar mengajakku untuk makan. Kali ini kami makan pada jajanan yang dekat dengan area parkir stadion.
Saat berada di tempat makan, aku bertanya pada Mawar perihal sikapnya yang murung ketika berada di Lembang. Mawar mengacuhkan pertanyaanku. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang aku tanyakan. Dia mengalihkan perhatian, dengan menawari aku minum. "Mau minum apa ?" tanya Mawar padaku. Padahal dia sudah tau bahwa aku lebih suka minum Teh Tawar untuk teman makan.
"Cepat atau lambat, kamu akan tau apa yang terjadi antara aku dan Bapak" ucap Mawar mendadak. Aku masih penasaran dengan apa yang terjadi diantara mereka.
Malam Minggu tiba, saat ini aku berada di rumah Mawar di Pasteur. Sehabis mandi dan mengganti baju. Aku duduk di ruang tamu ditemani Kak Puspo, satu-satunya kakak kandung Mawar yang tinggal satu rumah bersama Ibunya. Setiap harinya Mawar memang jarang pulang ke rumah. Karena seusai pulang kuliah dia pulang ke kost di Cibiru.
Tiap aku ke Bandung, aku memang selalu menginap di rumah Ibunya. Aku tidur satu kamar dengan Kak Puspo, sementara Mawar tidur bersama Ibunya. Rumahnya yang kecil yang hanya mempunyai dua kamar.
Malam itu Kak Puspo menceritakan petualangannya saat observasi di Dieng. Dia adalah salah satu mahasiswa paling aktif di kampusnya. Dia selalu tergabung di berbagai organisasi dan komunitas di kampus. Termasuk komunitas pecinta alam, sebuah komunitas yang dimana Mawar tergabung di dalamnya.
Obrolan kami berlanjut hingga jam 22.15 WIB, semakin larut obrolan kami pun semakin dalam. Kak Puspo menceritakan tentang sesuatu yang terjadi pada Mawar belakangan ini. Aku begitu antusias ketika Kak Puspo memulai topik pembahasan itu. Karena sejak siang tadi, aku sangat ingin tau, tapi Mawar memilih bungkam.
Mawar menjadi buah bibir diantara kami berdua. Aku terbawa perasaan dari semua yang diceritakan Kak Puspo tentang Mawar. Sebuah tantangan besar akan aku hadapi dari usiaku yang masih terlalu muda. Aku berada pada dua pilihan, antara hidup berdua dengan Mawar dalam suatu ikatan atau aku mundur merelakan Mawar dengan pria lain. Aku pribadi sudah siap untuk menjalani tantangan yang pertama, namun aku menyerahkan semuanya tergantung dari keputusan Mawar. Aku masih ingin Mawar menyelesaikan kuliahnya di Biologi Sains dan aku masih bisa menunggu hingga dia di wisuda sekitar satu tahun lagi. Namun, Pak Burhan lebih ingin agar Mawar segera menikah. Padahal, Ibu Hanni tak pernah menyetujui kehendak Pak Burhan terhadap Mawar.
Memang selalu ada perbedaan pendapat antara Pak Burhan dan Ibu Hanni semenjak mereka bercerai dua tahun lalu. Dan mungkin hal itu pun yang membuat mereka berpisah. Bukti dari keegoisan Pak Burhan amat jelas terlihat dari perlakuannya pada Mawar.
Malam semakin larut, Kak Puspo sudah tak kuat menahan kelopak matanya. Tapi sepasang mataku masih cerah, sama sekali belum merasa sedikitpun mengantuk. Aku masih betah menonton televisi karena aku menunggu satu pertandingan Liga Inggris. Mawar berjanji akan menemaniku nonton laga Stoke City vs Chelsea yang tayang di TV lokal. Namun tampaknya, sang wanita itu telah tertidur dan tidak akan pernah hadir malam ini duduk bersebelahan denganku. Karena yang aku tau, dia ikut membantu Ibu Hanni berjualan baju setiap Minggu pagi di Gedebage.
Tujuh menit setelah kick off dimulai, Kak Puspo mengajakku untuk tidur di kamar. Padahal, aku masih ingin sekali menonton pertandingan yang selalu aku tunggu tiap akhir pekan. Aku merelakan untuk tidak menonton dan memutuskan untuk ikut serta dengan Kak Puspo ke kamar.
-------
Mari kita nikmati Minggu pagi di Gedebage. Mawar membantu Bu Hanni berjualan aneka baju muslimah serta kerudung beragam motif. Sementara Kak Puspo berjualan T-Shirt bergambar wajah pahlawan nasional dan beberapa orang berpengaruh di dunia, Cut Nyak Dien, Tjokroaminoto, Datuk Tan Malaka, Iwan Fals, John Lennon, Harry Roesli, Syekh Abdul Qodir Jaelani, Wiji Thukul, Elthon John dan masih banyak gambar lain. Harganya pun terbilang murah, hanya sekitar Rp. 45.000.
Orang-orang begitu ramai berlalu lalang. Mereka bertiga bergantian menjajakan dagangan. Sesekali ada orang yang menawar tapi tak membeli. Keluarga yang kompak. Mereka sekeluarga memiliki basic dagang yang mumpuni. Mereka cerdas dalam urusan berjualan. Dahulu, saat Ayah dan Ibunya masih bersama, Mawar ikut berjualan buku di Palasari bersama Ayahnya sementara Kak Puspo ikut berjualan dengan Ibunya di pasar.
Dan di Palasari adalah awal pertama aku bertemu Mawar.
Lihatlah, saat ini Mawar begitu hebat menyembunyikan penat yang berkecamuk dalam isi kepalanya. Dia begitu gampang mengkerdilkan masalah yang besar, meski terkadang beban itu tersirat. "Bersabarlah Mawar, aku masih ada untukmu" ucapku dalam hati sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya.
Bukan tentang rupa wajah, bukan pula tentang kecerdasannya namun ketangguhannya, kesederhanaannya, keapaadaanya, semangat dan optimismenya tinggi membuatku tak pernah bisa bila harus pergi dari kisah hidupnya.
Terus terang, alur cerita yang dialaminya hampir sama denganku. Dimulai dari tentang masalah keluarga "broken home", dan tentang keadaan ekonomi yang pas-pasan. Maka karena dua hal itulah yang membuatku merasa sejajar dalam hidup. Mungkin bisa dibilang, kami sependeritaan.
Mawar bukanlah seorang kekasih, bukan pula seseorang yang aku tinggikan sebagai lawan jenis. Kami berdua hanya sebagai seorang sahabat. Sahabat yang tak mempedulikan meski kami terkesan main hati.
"Optimis, Realistis, Idealis" adalah tiga kata sakral yang kami pegang teguh jika kami dirundung masalah. Kami selalu saling menghibur dan memberi semangat pada cibiran yang keji atau tentang pola pikir negatif tentang pribadi kami.
Namun, obrolanku dengan Kak Puspo tentang dia semalam adalah tuntutan agar aku tak selalu membiarkan kisah keakraban kami seperti ini. Ada saatnya aku datang dan ada saatnya aku pulang dari Bandung. Mungkin seperti inilah anggapan Pak Burhan terhadapku, yang terlalu semaunya pada Mawar.
"Wooy . . .", sentakan Kak Puspo memecah lamunanku. Dia menyuguhkan ku semangkok Cuanki untuk mengganjal perut yang kosong. Aku akui, saat itu aku memang lapar karena setelah Shubuh tadi kami segera berkemas agar bisa mendapat lapak untuk berjualan tanpa harus menyegerakan sarapan terlebih dahulu.
Hari mulai terik meski saat itu waktu menandakan 08.39 WIB. Memang agak jenuh jika aku cuma duduk diantara mereka yang sedang berjualan. Saat itu keadaan agak sepi. Lalu aku berdiri dan beranjak pergi dari mereka. Aku berjalan menuju warung kecil dan membeli sebungkus rokok. Aku memang perokok, tapi aku tak pernah menunjukkan bahwa aku seorang perokok dihadapan Mawar. Karena dia begitu benci pada sang perokok yang mencemari dan berdampak pada polusi udara.
Hisapan pertama asap rokokku ditemani oleh obrolan sang penjaga warung dengan penjual Cireng tentang hasil imbang Persib dipertandingan kemarin sore. Sebuah percakapan seru yang takkan ada habisnya.
Sebatang rokok yang terselip diantara telunjuk dan jari manisku terpaksa aku buang, setelah aku melihat keributan dari arah kiri yang berjarak kurang dari 100 meter. Aku berfikir, bahwa lokasi tersebut adalah lapak Ibu Hanni. Aku segera berlari menuju kerumunan. Dan ternyata memang benar, ada keributan dilapak Ibu Hanni.
Yang kulihat Mawar sedang memeluk Ibu Hanni yang tersedu. Dan Kak Puspo melerai dan menjauhkan sang pembuat onar. Dan aku terkejut, bahwa sang pembuat onar itu adalah Pak Burhan. Amarahnya berkecamuk, emosinya tak terkontrol karena sudah ada dua pipi yang tertampar oleh telapak tangannya. Aku ikut melerai Pak Burhan namun dia menghempaskan tubuhku hingga aku tersungkur. Dengan kasarnya dia berucap : " Kamu tidak ada urusan dengan kami ! Pulang kamu . . . Pulaang !!!" Pak Burhan mengusirku namun aku tak mempedulikan ucapannya. Karena aku tak tega melihat Ibu Hanni.
Karena telah membuat onar, Pak Burhan disoraki orang-orang yang berada di sekitar. Lalu beliau pergi sambil mencibir dan mencaci kami berempat.
Karena kebingungan dengan yang terjadi, aku bertanya pada mereka bertiga, namun tak satupun diantara mereka yang menjawab. Atas dasar apa semua terjadi separah ini. Apa tentang Mawar yang sempat Kak Puspo kisahkan semalam. Atau tentang dendam pribadi antara Pak Burhan dan Ibu Hanni yang tidak aku ketahui.
Tidak ada perlawanan dari mereka bertiga, meskipun saat itu Pak Burhan berprilaku kasar. Bu Hanni masih tersedu sedan dan Mawar mencoba menenang kesedihan Bu Hanni. Aku berdiri di sebelah Kak Puspo yang saat itu masih sakit hati.
Tampaknya, jualan hari Minggu ini tidak berjalan mulus. Dan keuntungannya pun tak begitu besar, hanya mendapat seperempat persen dari biasanya. Hari bertambah siang dan sinar mentari pun tak lagi bersahabat. Kami memutuskan untuk berkemas dan pulang.
------
Sesampainya di rumah Bu Hanni, Mawar menarik tanganku dan mengajakku ke teras rumah. Aku duduk pada sebuah kursi kayu tapi Mawar berdiri sambil menyandarkan punggungnya ke dinding.
Bahasa tubuhnya seakan menandakan ada sesuatu yang akan dia katakan, namun dia terlihat ragu-ragu dan bingung harus dimulai darimana awal pembicaraannya. Lalu aku menyuruhnya duduk pada kursi kosong dihadapanku. "Mawar, duduklah !!!" ucapku.
Setelah Mawar terduduk didepanku, dia menghela nafas dan mengembang-kempiskan dadanya dan berucap basmalah, pertanda dia sudah merasa tenang untuk memulai pembicaraan.
Tapi, dia kembali berdiri dari tempat duduknya. Dia masih bingung sambil menatapku dengan tatapan kosong. Ku lihat bola matanya berkaca-kaca seakan tangisan tak sabar untuk tumpah dari kelenjar air matanya.
"Apa pertemuan kita hanya sebuah kebetulan ? Apa semua yang telah kita lewati hanya pelengkap kisah ? Engkau hadir dalam kekurangan yang sulit aku tutupi. Saat jauh, terlalu banyak waktu yang aku buang untuk merindukanmu. Terlalu banyak energi yang terkuras saat tak bersamamu. Kini sebelum kau pulang, jangan lagi kau beri harapan bila tetap seperti ini. Aku ingin kita lebih dari ini, tak sekedar melihat kau datang dan pergi lagi. Aku ingin disetiap bangun pagi dan sebelum tidurku ada kamu", ucap Mawar dengan agak tersedu.
Aku dapat menangkap semua maksud dari ucapannya. Dengan tegasnya aku menjawab : "Aku akan kembali, dimana kita akan selalu bersama . . .". "Tapi kapan . . .? Kapan ?" balas Mawar dengan memotong omonganku.
"Matahari yang bersinarpun ada masanya dia terbit dan tenggelam. Dia menyimpan pancarannya pada malam hari agar bisa kembali memberi terangnya pada keesokan hari", sahutku. " Bukankah bumi itu bulat ? Bukankah matahari tetap bersinar dibelahan bumi yang lain jika satu sisi bumi gelap ? Matahari tak pernah menyimpan sinarnya, karena dia setia hadir untuk bumi" balas Mawar dengan menjadikanku objek pengandaian.
"Kita berdua memang kaya hati, tapi satu diantara kita berada pada posisi miskin waktu. Aku ingin menjadi matahari itu, namun aku tak bisa sesempurna matahari untuk bumi. Percayalah, meskipun jarak matahari dan bumi terlampau jauh tapi ada sesuatu yang bisa mendekatkannya", jawabku dari pertanyaannya.
Sepertinya aku salah bicara, atau mungkin Mawar yang salah pengertian. Karena setelah itu dia berlalu dan meninggalkanku kedalam rumah dengan begitu saja. Dengan semaunya dia membiarkan aku sendiri melamun di kursi teras rumahnya. Aku memikirkan dan memaknai lebih dalam dari ucapannya. Dan nampaknya, memang aku yang kurang peka pada kemauannya.
Dialog singkat namun bermakna agak dalam. Pikiranku terkuasai oleh namanya, oleh ucapannya dan oleh masalahnya. Sesegera mungkin aku perlu membuat keputusan, menikah muda atau kehilangan. Bukan tentang terukur jarak, juga bukan tentang himpunan harta yang tersedia, namun kita berdua sempat berjanji bahwa apapun yang terjadi, kita akan menikah saat kami berusia 25 tahun. Mungkin dia lupa dengan janji itu.
Kami berdua memang pernah berjanji pada yang demikian itu, pada suatu malam saat kami sedang berbincang via pesawat telepon. Saat topik pembicaraan kami habis, Mawar mengarahkan obrolan pada hal hal berbau pernikahan. Serasa saat itu mungkin sedang kasmaran, jadi kami berdua memutuskan untuk mengukir janji itu, walau tanpa sadar, saat itu usia kami memang masih sangat labil. Jadi, kami belum terlalu pantas untuk membicarakan hal tersebut.
Setiap malam, kami memang sering mengobrol lewat handphone. Dari hal itulah yang membuat kami akrab dan tau sama tau meski kami berjauhan jarak. Obrolan kami tak pernah habis, berbagai tema, berbagai pengalaman yang dilewati seharian, begitulah kami.
Lima menit berlalu, Mawar keluar rumah dan kembali menghampiriku. Namun untuk kali ini dia membawakan air minum sebagai penyejuk disaat panas Pasteur saat itu. Hanya itu saja yang dia perbuat lalu beranjak masuk lagi kedalam rumah. Segala yang aku ucapkan padanya tadi seperti menambah penat dalam pikirannya. "Apa dia lupa dengan janji itu ? Ataukah janji itu hanya sekedar pemanis ?" tanyaku dalam hati.
Tamparan dari Pak Burhan seakan membuat pola pikir dan pendirian Mawar berubah. Seseorang yang awalnya sebagai sosok yang tegar kini amat rapuh. Dia terlalu lama membiarkan penat itu menghantui. Dan mungkin dia telah mendapat kesimpulan atas jawaban-jawabanku tadi.
Dua jam berlalu, kini aku dan Mawar tengah berada dikeramaian Terminal Leuwipanjang. Satu tiket pulang siap menjadi teman dalam perjalananku di Bus. 15.05 WIB, jam keberangkatanpun sudah tiba. Bus pun sudah siap untuk menelusuri jalur tol Cipularang. Aku mencium keningnya dan berucap : " Aku akan segera kembali padamu bersama orang tuaku". "Jangan biarkan aku terlalu lama menunggu dan pakai ini saat kau kembali" jawab Mawar sambil mengalungkan syal Persibnya di leherku. Dia tak terlalu banyak bicara saat itu, aku cuma bisa melihat wajahnya yang muram sebelum aku pergi.
----
Sebulan berlalu setelah aku kembali ke Tangerang. Aku memutuskan untuk kembali ke Bandung akhir Minggu ini. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran. Tentu saja tentang Mawar yang beberapa hari tidak memberi kabar. Dia yang beberapa hari menghilang setelah dia tiba-tiba kirim pesan terakhir lewat sms : "Dil, jangan sampai tidak hadir, tanggal 23 Mawar nikah". Terkejut agak tak percaya setelah membaca pesannya.
Seminggu setelah aku mendapat pesan tersebut, tepatnya tanggal 30 September. Aku bertolak pada jam 07.00 pagi dari Kalideres menuju Bandung, dan untuk petualanganku kali ini, aku pergi berdua dengan temanku, Syahril. Dia adalah sahabatku, teman masa kecil yang sekarang jadi rekan kerja. Dia sangat terobsesi untuk pergi ke Bandung setelah aku menceritakan segala macam tentang Kota Kembang.
Perjalanan kami terasa singkat, karena dalam bus kami berdua tertidur lalu terbangun ketika mendengar nyanyian pengamen dalam bus di sekitaran Pasir Koja. Setibanya di Terminal, kami sesegera mungkin mengganjal perut ditempat makan milik Pak Edong. Sebuah tempat yang pernah Mawar rekomendasikan sebulan lalu. Aku sengaja mengajak Syahril kesana, karena aku ingin tau tentang Mawar. Dan mungkin, sedikitnya Pak Edong tau tentang Mawar akhir-akhir ini.
Syahrir agak keheranan saat aku berbincang dengan Pak Edong. Obrolan kami memang agak serius, sehingga membuatnya berfikir bahwa aku begitu akrab dengan Pak Edong.
Setelah itupun aku jadi tau, bahwa Mawar telah menikah dengan pilihan Ayahnya pada 23 September lalu. Sosok pria yang menjadi mempelai prianya adalah Mukhlis, seorang pria asal Surabaya yang bergelar SPd. Saat itupun aku bertanya tentang keberadaan Mawar usai menikah, namun Pak Edong tak mengetahui tentang hal itu.
Beranjak dari Terminal, kami berdua menuju rumah Ibu Hanni di Pasteur. Karena aku beranggapan, Mawar pasti ada disana. Dalam hati aku berharap dan berdoa, semoga aku bisa bertemu Mawar hari itu. Sebuah harapan yang terselip rasa bersalah, sebuah doa yang tercampur rasa kecewa. Syahril kerap menepuk-nepuk pundakku dan mencoba menyemangatiku dengan kata "sabar"nya. Dia tau, karena saat itu hati dan perasaanku sedang berkecamuk.
Sesampainya di Pasteur, di tempat kediaman Ibu Hanni. Yang ku dapati saat itu hanya rumah kosong tak berpenghuni. Berulang kali aku mengucap "Assalamualaikum" namun tak ada yang menyahut tuk menjawab salam. Sesekali ku ketuk pintu rumah namun yang ku terima masih sama, sepi.
Karena cukup lama aku di depan rumahnya, lalu muncul seorang pria muda yang tak lain adalah tetangga sebelah rumah Ibu Hanni. Dia memberi tau bahwa Ibu Hanni, Kak Puspo dan Mawar telah pindah rumah ke Surabaya sejak kurang lebih empat hari yang lalu.
Sebuah harapan hampa dan doa yang tak terkabulkan mendadak harus aku terima. Hasrat hati untuk bertemu Mawarpun telah pupus. Hanya ada satu pilihan terakhir untuk bertemu Mawar, yaitu ke Lembang, ke tempat kediaman Pak Burhan. Namun, aku lupa alamat rumahnya, karena aku cuma baru sekali kesana, yaitu pada sebulan yang lalu.
Sering ku coba untuk menelpon Mawar pada handphone-ku, hasilnya pun tetap sama : "nomor yang anda tuju sedang tidak aktif", sebuah kalimat yang selalu aku dengar setelah Mawar mengirim pesan tentang resepsi pernikahannya seminggu lalu.
Bagaimana dengan rencanaku mengajak orang tuaku untuk bertemu dengan keluarga Mawar !?. Memang, awalnya aku hanya menyangka kabar itu hanyalah candaan dari Mawar. Karena aku tau, Mawar begitu sering membuat lelucon yang sengaja agar aku panik. Namun, tampaknya hal itu tak perlu terjadi karena hal serius yang kualami saat ini berada diluar dugaan. Padahal, aku sudah merencanakan agar orang tuaku datang melamar Mawar di Bandung besok siang.
Sudahlah, sekedar untuk menghibur diri, lalu Syahril mengajakku ke Ciwideuy. Sebuah tempat yang pertama ingin dia kunjungi di Bandung.
SEKIAN.