Terminal Kalideres, Minggu 28 Agustus 2011
Aku adalah pemuda 22 tahun pergi dari sebuah desa di Kabupaten Bandung dengan niat mengadu
nasib di Jakarta. Berbekal ijazah terakhir yang aku simpan rapi di dalam tas
hitam yang bercampur dengan pakaian di dalamnya. Bermodal uang tunai Rp. 500.000,-
di dompet warna coklat,aku melangkah keluar dari area terminal sambil berfikir “
Siapa orang pertama yang harus aku temui di Jakarta, sementara saudara atau
teman pun tak ada”. Miris. Tapi aku yakin dengan niatku bahwa aku bisa
mewujudkan cita-citaku meskipun aku harus membangunnya seorang diri.
Langkah kaki belum terhenti meski aku belum tahu kemana arah tujuanku
nanti. Cukup jauh aku melangkah dan aku masih yakin bahwa jalan yang aku lalui ini adalah jalan menuju
mimpiku. Saat itu terik sekali, jam di tangan menunjukkan pukul 12.45 membuat
dahaga memaksa tenggorokan mengering. “Aaaah, sejuk sekali !” aku teguk habis
sisa air mineral dalam botol kemasan yang aku beli di Leuwi Panjang.
Aku lupa, aku belum shalat Dzuhur !
Jam 13.10 wib. Setelah shalat Dzuhur, aku duduk di sebelah warung kecil
di pinggiran jalan Peta Selatan di depan Masjid yang bersebelahan dengan SPBU. Sejenak
aku beristirahat sambil mengunyah roti tawar. Lumayan, sekedar untuk
menghilangkan rasa lapar. Belum selesai aku mengunyah, aku melihat seorang
lelaki separuh baya, mungkin usianya 42 tahun sedang mendorong motor Vega R
biru dari arah SPBU. Ketika beliau mendekat, aku menyapanya : “ Motornya
kenapa, pak ? Mogok ?”, lalu Bapak itu pun berhenti mendorong dan menjawab : “Ini
dek, kok motor Bapak sehabis diisi bensin malah susah hidupnya ”. Kemudian aku
menunda tasku di bangku kayu warung dan menghampiri si Bapak : “ Sini pak, biar
saya bantu!!! “. Lalu Bapak itu bergegas lalu duduk tepat di sebelah tasku. Aku
tak sengaja menoleh melihat belanjaan Si Bapak yang beliau tumpuk di jok belakang
yang berisi sayur mayur. “Dari pasar yah, pak?” basa basiku sambil memeriksa
bagian karburator. Motornya tidak memakai dop sayap jadi aku lebih mudah untuk
mengeceknya. “ Iya dek, tadi habis belanja dari pasar Kalideres, tiba-tiba motornya
mogok, pas Bapak periksa ternyata bensinnya habis, terus Bapak isi bensin tapi
setelah diisi bensin, motornya malah jadi lebih susah hidup”, jawab si Bapak
dengan logat bahasa Jawanya yang kental.
Si Bapak yang tampak lusuh dan penuh keringat karena lelah mendorong
motor membuat aku terkenang pada almarhum Ayahku dan aku pun merasa iba terhadapnya.
Karena aku pun merasakan rasa panas sengatan terik matahari dan serpihan debu
jalan, sama seperti dengan yang beliau alami.
5 menit berselang, aku mencoba menghidupkan mesin motor. Pada
percobaan ketiga motornya pun normal dan bisa dipergunakan kembali. “ Wah dek,
kok bisa....?” si Bapak pun terkejut sambil tersenyum. “ Ini pak, saya Cuma menyedot
selang angin ke karburator, tapi semua
sudah lancar kok! Cuma tadi bensinnya saya buang sedikit” jawabku dengan maksud
mempertegas. “Oh, kalau begitu, terimakasih yah dek ! Oh iya, adek mau kemana ?”
tanya si Bapak. “ Kebetulan saya lagi istirahat di warung, saya lagi cari
kontrakan yang murah” aku menjawab. “ Kalau mau, adek lurus dari sini, nah, di sebelah kiri ada pertigaan, terus adek masuk aja ke daerah Benda 3, di sana banyak kontrakan kosong”
ucap si Bapak dengan maksud memberitahu. Lalu aku pun menjawab: “ Oh, iya pak! Terima
kasih banyak”. “Kalau begitu, saya duluan yah dek ! nanti sampai rumah saya mau
suruh anak saya buat bawa motor ke bengkel buat diservis, maklumlah, motor ini
kurang keurus, duluan dek...!!!!” lanjut si Bapak. “iya pak” jawabku sambil
memanggutkan kepala dan tersenyum.
Sebuah awal di kota Jakarta yang aku mulai dengan perbuatan baik.
Semoga saja akan berdampak positif padaku nanti. Aamin....
Petualangan ini harus kembali aku mulai, selepas shalat Magrib di
Masjid Jami’ Al Mujahidin, saat ini suasananya gelap, tak ada cahaya lampu
listrik karena tengah ada pemadaman dari jam setengah 6 sore tadi. Tapi suasana
di lingkungan Masjid sangat ramai. Aku duduk di teras Masjid sambil bertanya
dalam hati “ dimana aku tidur malam ini..?!”. Dan sepertinya keputusan terakhir
aku akan menginap di Masjid, itu pun jika di izinkan oleh pengurus Masjid.
Badan yang masih terasa lelah dan tercium aroma bau keringat seharian.
Wajar saja, sampai saat ini aku belum mandi dan tapi aku cuma membasahi tubuhku
dengan basuhan air wudhu.
Selepas Isya’ aku aku beranjak dari Masjid. Aku ingin makan dan
perutku lapar sekali. Uang ku pun masih bisa aku gunakan , setidaknya untuk
mengganjal perut sang perantau. Dan sisanya bisa aku gunakan untuk sewa
kontrakan nanti. Lalu aku berjalan ke arah kanan dari Masjid, tidak kurang 50
meter dari Masjid, tampak secercah cahaya lampu petromak yang terpancar dari
warung nasi “PECEL LELE CAH LAMONGAN”. Perutku seolah diundang untuk datang
kesana. Tampaknya malam ini aku lebih pilih untuk makan soto, karena aku dari dulu tidak suka makan ikan.
Cahaya lampu peyromak ternyata cukup untuk menerangi warung tenda
pinggiran jalan di saat lampu listrik padam. Sangat terang disini, terang
sekali. “ Bu, saya pesan soto 1 mangkok! “ pintaku sambil menyalakan sebatang
rokok. “ Minumnya apa, Bang ?” tanya si ibu padaku sambil menyiapkan sajian. “
Es teh tawar aja, Bu” jawabku.
Tak kurang dari 5 menit, semangkok soto dan es teh tawar telah
tersaji, hidangan siap untuk disantap dan perut pun siap utuk mencerna. “
Selamat makan, Bismillah.....!!!”